Minggu, 20 Desember 2009

Menggagas Pendidikan Anti-Kapitalisme


metode1Sumber: BatamPos, 08 Maret 2009
Judul Buku : Metode Pendidikan Marxis- Sosialis
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: AR-Ruzz Media, Yogyakata
Terbit: Desember 2008
Tebal: 316 Halaman


Dalam banyak hal, Karl Marx lebih dipersonifikasikan sebagai tokoh ekonomi-politik serta pejuang kaum buruh. Selama ini, kajian-kajian ilmiah hanya menyoroti teori “sejarah pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar” yang merupakan titik pijak pemikiran Marx. Jarang kita menjumpai diskursus yang menyandingkan pemikiran Marx dengan dunia pendidikan.

Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku ”Metode Pendidikan Marxis- Sosialis” ini, Karl Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan kenamaan. Bahkan, menurut Nurani Soyomukti, penulis karya ini, Marx adalah plopor dan peletak teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan.

Dalam konteks pendidikan, Marx meramalkan “basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh basis kapital (ekonomi)”. Teori ini disebut dengan “diteminisme ekonomi”. Tampaknya, ramalan Marx itu memiliki makna relevansi dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain merupakan penjelmaan penselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses selebar-lebarnya atas bercokolnya praktek kapitalisme (komersialisasi) ditubuh pendidikan.

Lembaga pendidikan saat ini sudah tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia (humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak-sebanyaknya. Status birokrat kampus, Rektor dan staf-stafnya, tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus mendapatkan laba sebesar-besar dari peserta didik.

Institusi pendidikan hari ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya, kalau pasar menjual bahan sembako domistik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, sementara perguruan tinggi menjual jasa pendidikan. Mulai dari tenaga pengajar (Dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang serba glamur dan seper canggih. Kampus akan melakukan apa saja, termasuk memper-“solek” lingkungan demi merekrut peserta didik sebanyak-banyaknya. Karena, semakin banyak kuantitas peserta didik, semakin besar penghasilan kampus.

Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi (konglemarasi) yang hanya memikirkan profit oriented. Tidak heran, kalau makin hari biaya lembaga pendidikan kian melonjak. Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah kebawah (miskin). Semakin bagus fasilitas kampus, semakin besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia barada dibawah garis kemiskinan. Inilah yang disebut “Pendidikan Rusak-Rusakan” dalam kacamata Darmaningtyas.

Secara historis, bibit kapiatalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto (Orde Baru). Ketika itu, yang menjadi panglima (ideologi) pendidikan adalah “pembangunan” (developmentalisme). Pertumbuhan pembangunan dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, Identitas lembaga pendidikan pun sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung.

Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang konsen di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran, akuntansi, kesekretariatan dan berbagai bidang lainnya merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme dan pragmatisme itu. Kehadiran SMK diharapakan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja-kerja infrastruktur pembanguanan, baik sebagai pekerja industri maupun administrator pemerintah.

Sekolah kejuruan nampaknya, menjadi idaman dan pilihan para orang tua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat mendapat kerja dan cepat kaya. Pendidikan yang menekankan pada keterampilan teknis sperti ini tentu saja mempunyai efek besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana nilai-niali pengabdian (loyalitas) terhadap bangsa dan kemanusiaan menempati posisi diatas pragmatisme.

Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan. Jelas, kalau pola pikir pragmatisme menghinggapi anak didik, bisa dipastikan anak didik tidak munkin lagi peka terhadap bobroknya realitas kebangsaan, apalagi berjuang dan melakukan anvokasi terhadap pemberdayaan kaum-kaum marjinal (tertindas). Sebaliknya, yang ada dalam benak anak didik hanyalah bagaimana anak didik cepat mendapatkan gelar sarjana dan memperoleh profesi yang bergengsi. Sebuah ironi ditengan bobroknya realitas kebangsaan diberbagai level.

Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode pendidikan berbasis Marxis-Sosialis yang menjadi counter part atas pendidikan “kapitalisme” yang selama ini menjadi ideologi sistem pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas marx adalah bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam tubuh pendidikan. Hali ini bisa dipahami, karena Marx adalah satu-satunya pemikir besar yang mengidealkan tumbangya budaya kapitalisme dimuka bumi ini. Dalam kacamata pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).

Menurut Marx, pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan kapital (profit), melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaanya yang sejati. Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal (radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampu mencetak manusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin (proletar) yang nota bene korban salah urus negara.

Bagi Marx, pendidikan bertujuan mencipatakan kesadaran kritis, bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis yang merupakan langka adaptasi terhadap perkembangan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lemabaga pendidikan.

Lebih dari itu, menurut pendidikan Marxis-sosialis, tujuan preneal dari proses manusia menuntut ilmu adalah untuk mengabdi bagi kemaslahatan kemanusian. “Ilmu tidak boleh menjadi kesenangan untuk diri sendiri. Orang-orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusian” demikian fragmen statemen Marx dalam salah satu karyanya.

Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini. Tidak bisa dibantah, 75 % orentasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi), menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali pelajar yang betul-betul murni untuk memperjuangkan nasib kaum tertindas. Wajar, kalau keberadaan kaum terdidik di negara yang mayoritas muslim ini sudah tidak lagi menjadi aktor pemberdayaan kaum tertindas (the oppressed) dari belenggu penindasan dan ketidak adilan (dehumanisasi). Sebaliknya, justru kaum terdidiklah yang menjadi biang dari sekian problem sosial yang berlangsung ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih mau mencari penawar atas sekian krisis sosial, keberadaan kaum terdidik menjadi bagian dari krisis sosial itu sendiri. Mulai dari koruptor, penjilat, politikus busuk, sampai komprador atau agen dari kepentingan global.

Tidak ada komentar: