Minggu, 20 Desember 2009

Resensi Buku Baru | Api Sejarah

Judul : Api Sejarah
Penulis : Ahmad Mansur Suryanegara
Penerbit : Salamadani
Tebal : 584 Halaman
Terbit : Juli


Mengungkap Fakta-Fakta Sejarah yang Terlupakan

MENELUSURI jejak sejarah, baik sejarah bangsa Indonesia dan dunia, jarang sekali terjadi atau ditemukan sesuatu yang mengejutkan. Semua seakan sudah ditulis begitu sempurna, lengkap, dan objektif sehingga tidak ada ruang untuk sekadar interupsi. Apalagi jarang terdapat buku-buku atau bahan pembanding untuk menguji sejarah yang telah dicatatkan dan dituturkan bertahun-tahun lamanya.

Alhasil, seperti kata Bung Karno dalam surat dari Endeh yang dimuat dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi Djilid I, selama ini kita “hanya mampu membaca abunya sejarah, tapi tidak dapat menangkap apinya sejarah.” Kita mungkin tahu dan hapal hari kemerdekaan, kebangkitan nasional, nama-nama para pahlawan. Namun, jarang mampu memahami makna dan fakta yang menggelora dalam sebuah peristiwa sejarah serta tokoh-tokoh di dalamnya.

Jadi tak usah heran dalam peringatan peristiwa sejarah penting lebih terasa hanya menjadi ajang seremonial dan agenda tahunan. Para pahlawan yang telah berjuang mengorbankan jiwa dan raga, hanya dihafal nama-namanya. Sejarah lebih sering dianggap sebagai kisah masa lalu, daripada sebuah perjalanan yang berkesinambungan untuk meraih kejayaan di masa depan.

Karena itu, perlu pemahaman untuk bisa lebih memaknai secara mendalam sebuah semangat dan cita-cita luhur di balik sejarah sebuah bangsa. Untuk itu, dimungkinkan pula adanya koreksi, untuk tetap menjaga makna cita-cita luhur di dalamnya sehingga sejarah bisa dijadikan perjalanan yang berkesinambungan sebuah bangsa untuk meraih kejayaan di masa depan.

Itu pula semangat yang ingin disampaikan dalam Buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani. Buku setebal 584 halaman ini bukan buku sejarah biasa karena menampilkan fakta-fakta menyengat yang jarang terungkap dalam buku sejarah kebanyakan.

Buku ini memang mengupasnya dari sudut pandang bagaimana pengaruh Islam dan ulama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Namun, akan terlalu berlebihan jika menuding buku ini hanya menonjolkan peran satu golongan. Sebab, buku ini mengajak kita untuk bersedia mengoreksi dan meletakkan fakta-fakta yang belum terungkap secara proporsional.

Dari hal yang paling sederhana, misalnya tentang kapan masuknya Agama Islam ke Indonesia. Menurut Prof Dr Buya Hamka dan KRH Abdullah bin Nuh, Islam sebenarnya sudah masuk nusantara pada abad ke-7. Bukan abad ke-13 dan setelah runtuhnya kerajaan-kerjaan Hindu dan Buddha seperti banyak ditulis dalam buku sejarah.

Sebab, pada abad ke-7 berdasarkan Berita China Dinasti Tang sudah ada masyarakat di pesisir barat Sumatera yang beragama Islam dan ditemukannya nisan ulama Syaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli. Dan, keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha bukan akibat dominasi kerajaan Islam, misalnya Kerajaan Majapahit hancur setelah diserang Raja Girindrawardhana dari Kediri bukan oleh Kerajaan Demak.

Fakta-fakta yang lebih menyengat dan dilupakan tentang sejarah perjuangan organisasi Islam dalam sejarah kebangkitan sampai kemerdekaan, juga diungkap secara gamblang. Istilah nasionalisme dan Indonesia merdeka sebenarnya pertama kali diperkenalkan oleh Central Sjarikat Islam (CSI) pada kongres nasional pertama di Bandung pada 1916.

Lalu, mengapa Hari Lahir Boedi Oetomo ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal menurut MR AK Pringgodigdo dalam buku Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Boedi Oetomo dalam Kongres di Surakarta pada 1928 menolak cita-cita persatuan.

Buku ini layak diapresiasi sekaligus diuji fakta-fakta yang disajikan. Tentunya bukan mencari siapa yang benar dan salah. Lebih penting adalah meletakan fakta-fakta sejarah secara proporsional agar api semangat dan cita-cita luhur para pahlawan terus dilanjutkan untuk kejayaan Indonesia.

Judul: Pelumas Sejarah Indonesia

Penulis: Asvi Warman Adam

Tebal: xx + 270 hlm

Ukuran: 14 x 21 cm

Penerbit: Perpustakaan daerah


Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah dan belum pernah dimuat di media massa. Sebagian merupakan pengantar beberapa buku sejarah. Sedang sebagian lainnya terdiri dari tinjauan buku terutama yang terbit setelah era reformasi 1998. Substansi yang dibahas merefleksikan perkembangan sejarah Indonesia mutakhir, sebagian besar buku yang dibicarakan itu tergolong kategori terlarang pada masa sebelumnya. Terdiri dari dua bagian: bagian pertama termasuk normal track (jalur normal), maksudnya upaya pengembangan historiografi Indonesia secara normal dalam jangka menengah dan panjang. Sedangkan bagian kedua, mungkin tergolong fast track (jalur cepat), artinya apa-apa yang perlu diperbaiki dalam waktu dekat.

Banyak orang lebih senang memperdebatkan istilah pelurusan sejarah yang dianggap kurang tepat. Kenapa tidak dipakai ungkapan “penulisan sejarah kembali”, ujar mereka. Inti persoalannya bukan pada peristilahan tetapi pengakuan terhadap kenyataan. Faktanya telah terjadi pembengkokan sejarah selama Orde Baru yang dilakukan oleh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan. Ini seyogianya diakui dulu baru kita boleh berdiskusi tentang soal istilah. Di dalam berbagai tulisan penulis telah menjelaskan tentang rekayasa sejarah yang dilakukan rezim Orde Baru. Buktinya semakin banyak bila ditelaah ulang SNI (Sejarah Nasional Indonesia) jilid 6.

Buku SNI telah mendapat kritik tajam dari BM Diah di Harian Merdeka8 April 1976 dan tulisan yang sama dimuat bersambung pada HarianMerdeka 18-20 September 1985. Tulisan ini kemudian dibukukan dalam BM Diah, Meluruskan Sejarah, Kumpulan Karangan, Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987. Setelah membaca edisi pertama buku itu, Diah menulis “sejarawan Indonesia 1976 menghukum Sukarno”.

“Atas petunjuk Presiden Sukarno, PKI dan ormas-ormasnya dapat dengan aman melakukan intimidasi dan teror politik terhadap pihak-pihak dan tokoh-tokoh yang dianggap lawan, dengan mengatakan siapa saja menentang Nasakom, apalagi anti PKI adalah kontra revolusioner dan anti Bung Karno.”

Menurut Diah dalam hal ini Bung Karno telah dituduh dan dihukum, karena intimidasi dan teror PKI itu atas petunjuk Presiden Sukarno. Pada cetakan ketiga, bagian tersebut memang sudah tidak ditemukan lagi.

Pda SNI jilid 6 hlm. 17 tertulis “Di antara kaum nasionalis ada juga tokoh-tokoh yang menolak bekerjasama dengan pihak Jepang. Di antara yang terkenal adalah Sutan Sjahrir dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Sikap dari Tjipto selain alasan politik juga karena kesehatannya semakin mundur.” Di sini Amir Sjarifuddin tidak disebutkan. Semata-mata karena ia terlibat peristiwa Madiun 1948. Pada buku yang sama hlm. 161, perjuangan PDRI (Pemerintah Darurat republik Indonesia) hanya disebut datu kalimat. Sementara itu Sudirman begitu diagungkan. Tampak ganjil karena ia sakit keras tetapi masih memimpin gerilya secara total.

Lahirnya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dilatarbelakangi oleh hasrat Presiden Soeharto agar pelajaran sejarah tidak sekedar mengajarkan pengetahuan sejarah belaka, melainkan juga menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam hati siswa. Keinginan Soeharto itu muncul setelah ia mendapat masukan dari Jenderal M. Yusuf bahwa calon taruna AKABRI memiliki pengetahuan yang dangkal tentang sejarah perjuangan bangsa. Dari kasus ini kelihatan bahwa urusan internal ABRI ternyata dijadikan urusan nasional. Kepentingan militer mendikte kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Novel Sejarah dan Kasus Perang Salib


buku_the-book-of-saladin
Pengarang: Tariq Ali
Penerbit Serambi
SBN: 978-979-024-043-8
592 hal. HVS
Ukuran: 13 x 20,5 cm
Terbit: Desember 2008


Sebuah novel yang berpretensi mengangkat peristiwa di masa lalu selalu dibayangi persoalan sejauh mana akurasi sejarah dan sejauh mana capain novel itu sendiri. Jika akurasi sejarahnya lebih kuat sedangkan capaian novelnya terabaikan, maka karya demikian lebih bersifat karya kesejarahan dibandingkan dengan karya sastra. Pun demikian ketika sebuah karya yang mengangkat masa lampau ternyata justru merancukan data masa lampau tersebut dan malah menjadikan capaian sastra sebagai satu-satunya tujuan.

Untuk karya demikian, tanggung jawab atas keotentikan dan kemasukakalan data menjadi sekunder dan mesti meletakkannya sebagai sebuah karya sastra. Karya sastra, dalam hal ini novel, akan cukup dalam dirinya ketika unsur-unsur kesastraannya terbangun dan mampu membuat dirinya utuh. Perihal apakah pretensi sejarahnya berhasil atau tidak, menjadi bukan prioritas utama.

Namun, sebuah novel yang hendak memaparkan kisah tokoh dalam sejarah semacam Kitab Salahuddin karya Tariq Ali, jelas-jelas berpretensi pada sejarah. Ia bisa dikatakan sebuah karya sejarah yang menggunakan medium novel sebagai cara agar pembaca yang tidak mungkin membaca laporan sejarah yang ketat dan kaku akan dengan mudah mengikutinya. Atau, sialnya, sang penulis tidak cukup data untuk membuat laporannya bisa dipertanggungjawabkan, sehingga untuk mudahnya, digunakanlah jalur penulisan novel sebagai siasat. Namun, alasan yang belakang itu sudah sepatutnya tidak pantas diletakkan pada karya Tariq Ali tersebut.

Kitab Salahuddin merupakan rekonstruksi fiksional atas kehidupan Sultan Salahuddin atau Sultan Saladin di telinga orang Barat. Sultan Salahuddin hidup semasa abad ke-12 Masehi dan sultan yang pernah merebut Jerussalem dari tangan orang Barat setelah kejatuhan Yerussalem selama Perang Salib Pertama pada 1099.

Namun, dalam deskripsinya, dalam novel Kitab Salahuddin, Sultan Salahuddin tidak digambarkan semata seorang sultan dengan pedang di tangan kanan dan Alquran di tangan kiri. Justru, sebagian besar novel ini berkonsentrasi pada kehidupan keseharian sang sultan beserta orang-orang terdekatnya. Bagaimana masa kecilnya, remajanya, masa akil balighnya, dan masa ia menanjak menjadi seorang panglima perang yang paling disegani di tanah Arab maupun di mata orang Barat.

Tariq Ali tidak segan-segan menggambarkan bagaimana situasi harem tempat perempuan-perempuan cantik menemani sang sultan dan bagaimana sang sultan mendapatkan perempuan-perempuan cantik itu. Seorang harem bernama Halimah dikisahkan sebagai seorang istri dari pembantu utama sang sultan yang selingkuh dengan lelaki lain.

Jika Sultan konsisten dengan hukum yang ada mestinya ia menghukum dengan merajam sampai mati. Namun tidak. Sang Sultan malah menyembunyikannya di harem dan menjadi salah satu selir untuk pemuas sultan. Ketika salah satu anggota masyarakat mengangkat masalah penyelewengan hukum tersebut dalam bentuk kesenian, tak tanggung-tanggung, sang pengkritik dihukum mati.

Dunia harem benar-benar bertolak belakang dengan ajaran Islam yang memperoleh perhatian besar dalam Kitab Salahuddin. Sisi gelap ini menjadi salah satu penyeimbang sifat ambisius orang-orang Islam sendiri untuk menegakkan keyakinannya. Berulang kali Sultan Salahuddin menegaskan bahwa pengusiran orang-orang Barat bukan semata menolak segala jenis campur tangan Barat, melainkan masa depan keyakinan Islam itu sendiri. Di sini semangat melawan Barat dimaknai sebagai jihad terhadap orang-orang kafir.

Alasan tersebut sangat terang ketika Sultan Salahuddin menegaskan perlunya merebut kembali Yerussalem dari tangan orang-orang Barat. Yerussalem jatuh ke tangan orang-orang Barat pada 1099 Masehi dan hampir seratus tahun kemudian, yaitu pada 1187 Masehi, Yerussalem dapat direbut oleh orang Arab.

Sebenarnya ada sedikit kerancuan antara Islam versus Kristen dalam perang salib itu. Islam sendiri bukan semata orang Islam tetapi meliputi Yahudi dan Kristen. Mereka berada satu payung kepemimpinan Sultan Salahuddin dalam melawan Barat.

Sekalipun imajiner, penulis buku biografi Sultan Salahuddin dalam novel ini, Tariq Ali, menempatkannya dalam kerangka ruang dan waktu semasa abab ke-12. Orang-orang Arab yang berkeyakinan Islam, Kristen, dan Yahudi, bahu-membahu dalam menangkis dan mengusir orang-orang Barat. Sementara, Barat sendiri dalam mendefinisikan orang-orang Arab sudah tentu Islam. Orang-orang Moor yang perlu diluruskan dan kalau tidak bisa, dihancurkan.

Kenapa Barat mendefinisikan orang-orang Arab sebagai Islam yang perlu diberadabkan? Ini sangat terkait dengan penciptaan mitos dalam benak orang-orang Barat sendiri agar terdapat kesatuan persepsi demi kepentingan yang sesungguhnya tidak hanya berurusan dengan masalah keyakinan. Masa Abad Pertengahan, Paus sangat kuat posisinya melebihi seorang raja. Ia mempunyai kekuatan nyaris di seluruh daratan Eropa Barat, kecuali wilayah-wilayah yang dikuasai orang-orang Arab — Kordoba dan Spanyol.

Dengan memanfaatkan sentimen terhadap orang-orang Arab dengan Islamnya dan jaringan kuasanya yang sampai pelosok-pelosok, Roma mengerahkan raja-raja yang berkuasa dan sukarelawan untuk menjadi pasukan Perang Salib. Knights Templar, pasukan Barat itu, dalam benaknya dilesakkan oleh sebuah keyakinan ketika mereka semakin banyak memenggal kepala orang-orang Islam, maka semakin terbuka lebarlah pintu sorga untuk mereka. Ambisi orang-orang Kristen selama Perang Salib semakin besar tatakala mereka disahkan untuk membawa harta benda selama mereka di Arab tanpa harus menyerahkannya kepada raja maupun Paus.

Knights Templar bukan pejuang suci, tetapi sekelompok berandalan yang dikumpulkan dengan janji-janji surga dan mereka menggunakan kesempatan itu untuk merampok harta benda orang Arab dan memperkosa perempuan Arab. Namun, setelah Knights Templar kaya dan tak tersentuh oleh raja, maka raja menghantam mereka dengan menfitnah dan menempatkan mereka dalam pesakitan.

Ambiguitas politik orang-orang Eropa dalam Perang Salib diangkat dalam Foucault’s Pendulum karya Umberto Eco. Karya Eco dapat dikatakan representasi orang Barat atas kebejatan orang Barat itu sendiri. Tak beda dengan Kitab Salahuddin karya Tariq Ali yang berusaha ‘objektif’ atas situasi kultur Arab dan Islam itu sendiri.

Sudut pandang yang digunakan dalam novel Kitab Salahuddin adalah orang-orang Arab, khususnya kalangan elitnya. Pembaca tidak hanya disuguhkan bagaimana keyakinan para penguasa Arab begitu luar biasanya dalam urusannya dengan orang-orang Barat, tetapi juga konflik-konflik yang ada di antara penguasa-penguasa Arab sendiri. Tidak jarang dengan kedatangan pasukan Barat, mereka melakukan intrik demi melanggengkan kekuasaan sekalipun harus menghamba kepada mereka yang berbeda, bahkan berlawanan dengan keyakinannya.

Wilayah kekuasaan di tanah Arab sendiri saat itu sangat rentan untuk pecah dan melakukan perlawanan dengan pusat. Sultan Salahuddin sendiri dalam novel ini sering kali digambarkan bertentangan dengan wilayah kerajaan lain dan perang demi mengukuhkan sebuah kekuasaan. Wilayah kekuasaan yang cenderung membelah diri itu disiasati dengan menempatkan sanak saudara untuk memimpin sebuah wilayah yang lebih kecil. Ini bertujuan untuk menciptakan sebuah kekuasaan yang relatif permanen dalam waktu yang lama.

Kekuasaan tradisional di banyak tempat cenderung bersifat paternalistik, seperti halnya Sultan Salahuddin dalam Kitab Salahuddin. Ia menempatkan keponakannya, Farrukh Shah dan Taki al-Din, sebagai penguasa kecil di daerah taklukan.

Namun, Sultan Salahuddin adalah pemegang prinsip moral yang tegas saat berurusan dengan tanah rampasan. Ketika ia merebut Yerussalem, Sultan tidak membunuh dan menjadikan kepala orang-orang Kristen sebagai hiasan tetapi membiarkan mereka hidup. Tidak mengharuskan orang-orang Kristen miskin membayar dan tetap mempertahankan gereja-gereja sebagai tempat beribadah. Sultan tidak membabibuta dengan menghancurkan Yerussalem dari pengaruh Kristen sebagaimana orang-orang Barat menghancurkan Yerussalem pada kejatuhannya tahun 1099.

Sejarah Islam abab ke-12 terasa sekali, sebab data tersebut berbentuk adegan cerita yang hidup. Sehingga, Edward Said pun berkomentar antara aspek historis dan hubungannya dengan takdir sangat meyakinkan sekali. Seolah-olah ketika Sultan Salahuddin memutuskan untuk menunaikan haji ke Mekkah dan kemudian meninggal dunia selama perjalanan tersebut, pembaca tidak disuguhkan fakta tetapi daya spiritual seorang Salahuddin.

Menyurusi Jejak Pemikiran WS Rendra

Judul: Rendra, Ia tidak Pernah Pergi

Tebal: xv + 388 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tahun: September 2009
http://1.bp.blogspot.com/_ndDAWTArjvg/StaF_mvSFqI/AAAAAAAAAOA/fhRXdofzXT4/s400/BungRendra+2.jpg

Karya-karyanya Rendra tidak hanya respon terhadap kondisi di sekitarnya, namun juga menunjukkan berbagai gagasan mengenai kebudayan yang luas dan menembus waktu.
Itulah yang dapat ditangkap dari buku ini. Dari buku ini pertama-tama pembaca dapat melihat bagaimana "ketegangan" antara Rendra dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Ketegangan disebabkan Rendra melihat ada yang keliru dalam arah kebudayaan.


Rendra mencium bahwa kebudayaan Indonesia tengah berada dalam posisi yang tersingkirkan. Artinya, tidak banyak orang yang memikirkannya secara serius untuk memperbaiki keadaan, sebaliknya atas nama perkembangan ataupun pembangunan, perlahan-lahan kebudayaan masyarakat kian disisihkan, dan akar hal ini telah terjadi sejak masa kolonial.


Rendra mencontohkan bagaimana Herman Willem Daendels yang membangun jalan berdasarkan kepentingan perdagangan, pertahanan militer dan kekuasaan. Implikasi dari itu semua itu adalah tumbuhnya sebuah ruang metropolitan. Orang-orang desa yang sebelumnya melakukan perdagangan dengan pembagian waktu berdasarakan hari pasaran dan penghayatan kosmis, kini berebut mendirikan rumah tepat di tepi jalan yang dibangun oleh Daendels (hal. 216). Akibatnya, ketidakseimbangan kosmis terjadi.


Tentu saja hal semacam itu tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga pada masa kini. Ambil saja contoh pembangunan hipermarket di kota-kota besar. Keberadaan hipermarket tersebut tidak hanya menggeser pedagang kecil, tetapi juga telah mengancam keberadaan pasar tradisional.


Pada masa lampau pasar adalah tempat terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan. Tetapi kini interaksi tersebut terancam. Proses tawar-menawar yang menjadi pemandangan lumrah di pasar tradisional kini digantikan dengan belanja yang menghilangkan hak pembeli untuk melakukan penawaran.


Itu sebabnya Rendra secara tegas mengungkapkan bahwa sesuatu yang bersifat tradisional layak untuk dipertimbangkan kembali. Sebab bagaimanapun, tradisi lama dan kearifan tradisional dapat diolah kembali untuk memperkuat kohesi masyarakat, sekaligus sebagai modal untuk membangun bangsa dengan lebih baik dan manusiawi.


Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah hal yang dilakukan oleh Rendra merupakan sesuatau yang sia-sia? Bukankah pementasan teater maupun pembacaan sajak yang dibawakan oleh Rendra tidak banyak membawa perubahaan secara signifikan?


Ternyata Rendra memiliki idealisme tersendiri dalam hal tersebut.. Bagi Rendra. Seperti dikutipkan oleh Mudji Sutrisno dalam tulisan dalam buku ini, Fenomena Koko dan Rendra Secara Budaya (Hal. 53), bahwa bagi Rendra seseorang boleh saja merasa lelah dan merasa sia-sia memikirkan gambaran keadaan manusia masa kini, namun ia tidak boleh berhenti berjuang dan bersuara memperjuangkan tegaknya martabat manusia Indonesia.


Rasanya, ungkapan Rendra tersebut bukan tanpa alasan. Rendra sendiri yakin bahwa Indonesia masih memiliki masa depan. Ini dapat ditangkap lewat ucapannya dalam sebuah wawancara. Menurut Rendra Indonesia masih punya masa depan selama masih ada pengusaha menengah dan orang-orang muda.


Menurutnya, pengusaha menengah telah terbukti kekenyalannya sejak masa tanam paksa di jaman Belanda. Kini pengusaha menengah telah dapat menyerap tenaga kerja hingga 30 juta orang. Sedangkan anak muda, dalam pengamatan Rendra, kini semakin banyak melahap buku-buku humaniora, dan semakin kritis dalam menggugat masalah-masalah kebangsaan. Bagi Rendra, fenomena ini merupakan investasi budaya.


Selain itu, Rendra juga ternyata bukan sosok yang hanya memikirkan masalah kesenian. Ia pun memikirkan bagaimana orang-orang yang hidup dari kesenian. Rendra paham benar, di Indonesia orang tidak dapat hidup melulu dari kesenian. Bahkan ia dan anggota Bengkel Teater pernah mengalami kesulitan keuangan pada tahun 1970-an.


Menurut Rendra, sulitnya menggantungkan hidup dari teater disebabkan di Indonesia belum ada infrastruktur yang memungkinkan para pemain teater bisa berkarya secara total. Di sejumlah negara maju infrastruktur semacam itu sudah dibangun. Di negara-negara semacam ini para penggiat teater tidak hanya didukung oleh agen yang profesional, tetapi juga lembaga lain, sebutlah bank, yang siap mendukung kegiatan teater. Kenyataan ini menunjukkan bahwa seluruh pihak memang memiliki keperdulian terhadap kebudayaan,


Itu sebabnya Rendra bertekad untuk membuat orang-orang dalam Begkel Teater menjadi lebih sejahtera. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Rendra berkaitan dengan Bengkel Teater dan para anggotanya. Dalam wawancara yang dilakukan pada tahun 1989 tersebut, Rendra mengungkapkan keinginnya untuk mendirikan sebuah padepokan (hal.149)yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kesejahteraan ekonomi anggota Bengkel Teater dapat terpenuhi.


Buku yang terdiri dari sejumlah tulisan yang ditulis oleh budayawan, sastrawan, sampai wartwan ini memang tidak dapat dikatakan mewakili secara keseluruhan gagasan kebudayaan seorang Rendra. Namun, paling tidak, terbitnya buku ini telah membantu terkumpulnya berbagai gagasan kebudayaan Rendra yang masih tercecer di berbagai media.

Menggagas Pendidikan Anti-Kapitalisme


metode1Sumber: BatamPos, 08 Maret 2009
Judul Buku : Metode Pendidikan Marxis- Sosialis
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: AR-Ruzz Media, Yogyakata
Terbit: Desember 2008
Tebal: 316 Halaman


Dalam banyak hal, Karl Marx lebih dipersonifikasikan sebagai tokoh ekonomi-politik serta pejuang kaum buruh. Selama ini, kajian-kajian ilmiah hanya menyoroti teori “sejarah pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar” yang merupakan titik pijak pemikiran Marx. Jarang kita menjumpai diskursus yang menyandingkan pemikiran Marx dengan dunia pendidikan.

Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku ”Metode Pendidikan Marxis- Sosialis” ini, Karl Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan kenamaan. Bahkan, menurut Nurani Soyomukti, penulis karya ini, Marx adalah plopor dan peletak teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan.

Dalam konteks pendidikan, Marx meramalkan “basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh basis kapital (ekonomi)”. Teori ini disebut dengan “diteminisme ekonomi”. Tampaknya, ramalan Marx itu memiliki makna relevansi dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain merupakan penjelmaan penselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses selebar-lebarnya atas bercokolnya praktek kapitalisme (komersialisasi) ditubuh pendidikan.

Lembaga pendidikan saat ini sudah tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia (humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak-sebanyaknya. Status birokrat kampus, Rektor dan staf-stafnya, tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus mendapatkan laba sebesar-besar dari peserta didik.

Institusi pendidikan hari ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya, kalau pasar menjual bahan sembako domistik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, sementara perguruan tinggi menjual jasa pendidikan. Mulai dari tenaga pengajar (Dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang serba glamur dan seper canggih. Kampus akan melakukan apa saja, termasuk memper-“solek” lingkungan demi merekrut peserta didik sebanyak-banyaknya. Karena, semakin banyak kuantitas peserta didik, semakin besar penghasilan kampus.

Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi (konglemarasi) yang hanya memikirkan profit oriented. Tidak heran, kalau makin hari biaya lembaga pendidikan kian melonjak. Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah kebawah (miskin). Semakin bagus fasilitas kampus, semakin besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia barada dibawah garis kemiskinan. Inilah yang disebut “Pendidikan Rusak-Rusakan” dalam kacamata Darmaningtyas.

Secara historis, bibit kapiatalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto (Orde Baru). Ketika itu, yang menjadi panglima (ideologi) pendidikan adalah “pembangunan” (developmentalisme). Pertumbuhan pembangunan dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, Identitas lembaga pendidikan pun sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung.

Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang konsen di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran, akuntansi, kesekretariatan dan berbagai bidang lainnya merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme dan pragmatisme itu. Kehadiran SMK diharapakan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja-kerja infrastruktur pembanguanan, baik sebagai pekerja industri maupun administrator pemerintah.

Sekolah kejuruan nampaknya, menjadi idaman dan pilihan para orang tua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat mendapat kerja dan cepat kaya. Pendidikan yang menekankan pada keterampilan teknis sperti ini tentu saja mempunyai efek besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana nilai-niali pengabdian (loyalitas) terhadap bangsa dan kemanusiaan menempati posisi diatas pragmatisme.

Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan. Jelas, kalau pola pikir pragmatisme menghinggapi anak didik, bisa dipastikan anak didik tidak munkin lagi peka terhadap bobroknya realitas kebangsaan, apalagi berjuang dan melakukan anvokasi terhadap pemberdayaan kaum-kaum marjinal (tertindas). Sebaliknya, yang ada dalam benak anak didik hanyalah bagaimana anak didik cepat mendapatkan gelar sarjana dan memperoleh profesi yang bergengsi. Sebuah ironi ditengan bobroknya realitas kebangsaan diberbagai level.

Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode pendidikan berbasis Marxis-Sosialis yang menjadi counter part atas pendidikan “kapitalisme” yang selama ini menjadi ideologi sistem pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas marx adalah bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam tubuh pendidikan. Hali ini bisa dipahami, karena Marx adalah satu-satunya pemikir besar yang mengidealkan tumbangya budaya kapitalisme dimuka bumi ini. Dalam kacamata pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).

Menurut Marx, pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan kapital (profit), melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaanya yang sejati. Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal (radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampu mencetak manusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin (proletar) yang nota bene korban salah urus negara.

Bagi Marx, pendidikan bertujuan mencipatakan kesadaran kritis, bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis yang merupakan langka adaptasi terhadap perkembangan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lemabaga pendidikan.

Lebih dari itu, menurut pendidikan Marxis-sosialis, tujuan preneal dari proses manusia menuntut ilmu adalah untuk mengabdi bagi kemaslahatan kemanusian. “Ilmu tidak boleh menjadi kesenangan untuk diri sendiri. Orang-orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusian” demikian fragmen statemen Marx dalam salah satu karyanya.

Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini. Tidak bisa dibantah, 75 % orentasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi), menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali pelajar yang betul-betul murni untuk memperjuangkan nasib kaum tertindas. Wajar, kalau keberadaan kaum terdidik di negara yang mayoritas muslim ini sudah tidak lagi menjadi aktor pemberdayaan kaum tertindas (the oppressed) dari belenggu penindasan dan ketidak adilan (dehumanisasi). Sebaliknya, justru kaum terdidiklah yang menjadi biang dari sekian problem sosial yang berlangsung ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih mau mencari penawar atas sekian krisis sosial, keberadaan kaum terdidik menjadi bagian dari krisis sosial itu sendiri. Mulai dari koruptor, penjilat, politikus busuk, sampai komprador atau agen dari kepentingan global.

Kisah Teladan Sepanjang Zaman


Judul Buku: Kisah Teladan Sepanjang Zaman
Penulis :Syaikh Muhammad Yusuf
Penerbit : Citra Risalah, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2008
Tebal : 818 halaman



Riwayat hidup para nabi dan para sahabat dan sejarah mereka telah menjadi sumber kekuatan keimanan dan perasaan keagamaan yang sangat kuat, yang tertanam pada umat ini. Dakwah-dakwah yang bernuansa agama mengambil nilai iman dari catatan perjalanan ini supaya dapat membakar bara api dalam hati, yang biasanya akan mudah padam dan membeku karena hembusan angin dan suasana materialisme. Padahal apabila bara iman di dalam hati telah padam; maka umat ini akan kehilangan kekuatan, pengaruh, dan kehormatannya, sehingga akan menjadi sebongkah jasad yang beku, yang tidak akan mampu memikul beban (cobaan) kehidupan.

Inilah sejarah orang-orang yang tersentuh dakwah Islam, kemudian mereka beriman kepadanya dan hati mereka senantiasa membenarkannya. Setiap kali mereka diajak kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, maka mereka senantiasa mengucapkan, ”Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan yang menyeru pada iman, (yaitu):’Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian,’ maka kami pun beriman.” (Q.s. Ali ‘Imran: 193).

Mereka segera meletakkan tangan mereka di atas tangan Rasulullah saw.; rela mengorbankan jiwa, harta, dan keluarga, berlapang dada ketika menghadapi kesusahan, kesulitan, dan segala tekanan dalam memegang usaha dakwah kepada Allah swt. sebagai maksud hidupnya. Keyakinan telah terpahat kokoh di dalam hati mereka, sehingga menguasai jiwa dan akal pikiran mereka. Kemudian muncullah keajaiban iman kepada yang ghaib, kecintaan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, sehingga rahmat senantiasa dilimpahkan ke atas orang-orang mukmin, dan bencana ditimpakan ke atas orang-orang kafir. Mereka lebih mementingkan kampung akhirat daripada segala kesenangan dunia, lebih mencintai yang kekal daripada yang fana, yang ghaib daripada yang nyata, hidayah daripada adat tradisi. Mereka memiliki semangat yang tinggi dalam mengajak menusia, mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap berhala, dan mengajak hanya menyembah Allah swt. semata; dari kezhaliman agama-agama mereka menuju keadilan Islam, dari kesempitan dunia menuju keluasan akhirat, mengabaikan segala kesenangan dunia untuk menuju kerinduan bertemu dengan Allah swt., dan masuk surga. Mereka memiliki kemauan yang kuat untuk selalu menyebarkan Islam dan ajaran-ajaran kebaikannya ke seluruh penjuru dunia agar menyentuh wilayah Timur dan Barat, dari dataran hingga ke pegunungan.

Untuk mewujudkannya, mereka rela meninggalkan segala kesenangan dunia, tidak mau berdiam bersantai-santai dan tidak mau menjalani kehidupannya dengan tenang. Mereka meninggalkan kampung halaman dengan mengorbankan apa saja yang mereka miliki, hingga mereka mampu mengajak para tetangga untuk masuk Islam, dan hati manusia dibawa menuju ketaatan kepada Allah swt.. Oleh sebab itu, suasana iman terus berhembus membawa segarnya angin yang penuh keberkahan, negara tauhid, iman dan ibadah dapat berdiri tegak, pasar surga menjadi ramai, hidayah tersebar ke seluruh pelosok, hingga semua manusia berbondong-bondong masuk agama Allah swt..

Berbagai peristiwa yang telah mereka alami dalam kehidupan mereka memenuhi kitab-kitab sejarah. Berita tentang mereka terjaga dengan rapi di berbagai perpustakaan Islam, yang senantiasa menjadi bahan rujukan dan pembangkit dalam kehidupan orang-orang Islam. Oleh karena itu, para pekerja dakwah Islam dan para pengajar memiliki perhatian yang tinggi terhadap kisah-kisah perjalanan hidup mereka. Mereka memiliki kesanggupan yang tinggi dalam membangkitkan kemauan umat Islam dan menaburi hati mereka dengan benih iman dan semangat agama.

Tetapi ada juga masa dalam kehidupan umat Islam ketika mereka justru tidak meminati sejarah ini dan melupakannya. Para penulis, pengarang, dan para pekerja dakwah mengganti kisah-kisah mereka dengan kisah orang-orang zuhud, wali, dan para syaikh yang hidup pada masa belakangan ini, sehingga hampir semua kitab dan tulisan dipenuhi oleh kisah-kisah tersebut, ditambah dengan kisah karamah para wali. Akibatnya banyak manusia yang terpukau dan tertarik, karena majelis mereka dipenuhi dengan hal-hal seperti ini.

Kitab yang disusun ini merupakan kabar berita tentang para sahabat, sirah, kisah, dan hikayah tentang mereka. Jarang ada sebuah kitab seperti ini (dalam hal penyusunan dan nilainya), karena memang Syaikh Muhammad Yusuf menelaah dari berbagai kitab, baik kitab hadits, musnad, tarikh, maupun thabaqat. Karena itu, kitab ini hadir untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada masa itu dari kehidupan para sahabat r.anhum., keistimewaan, akhlak, dan peristiwa apapun yang terjadi pada diri mereka. Semua aspek kehidupan mereka dan berbagai macam kisah tentang diri mereka mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap penulisan kitab, yang biasanya hanya dituliskan secara ringkas saja. Namun dalam kitab ini, pembaca akan merasakan kehidupan dalam suasana iman, dakwah, keutamaan amal, akhlak, dan zuhud.

Jika memang benar bahwa kitab ini menjadi bahan yang sangat berharga bagi penulis, bahkan bisa dikatakan sebagai belahan jiwanya, beliau mencurahkan seluruh perhatian untuk menyusun kitab ini dengan segala keyakinan, bisikan hati, dan keikhlasan jiwanya. Beliau hidup dengan seluruh bahan maknanya. Maka saya berani menegaskan bahwa sesungguhnya buku ini mampu memberikan pengaruh yang besar dan sangat berhasil. Karena dalam menyusun kitab ini penulis melakukannya dengan segala keyakinan, kesenangan, semangat, dan segenap perasaannya. Beliau telah menjadikan kecintaannya kepada para sahabat bercampur dengan daging dan darahnya, kemudian membimbing perasaan dan pemikirannya. Beliau hidup sekian lama dalam suasana yang akrab dengan kisah-kisah dan sirah, dan senantiasa hidup dalam suasana ini, mengambil sumber dan mengamalkannya, hingga beliau menghadap Yang Mahakuasa (pada tahun 1965 M. atau 1384 H.).

Sebenarnya kitab ini tidak membutuhkan kata pengantar dari saya, mengingat penulisnya yang sangat ikhlas, yang menurut pendapat saya, semua ini merupakan karunia Allah swt. dan kebaikan yang dimiliki oleh zaman ini, yaitu berupa kekuatan iman dan kekuatan dakwah serta ketekunan dan ketabahan dalam menjalaninya. Hampir tidak ada seorang pun yang menyamai kedudukannya, kecuali setelah berjalan begitu lama. Beliau mampu mengarahkan gerakan keagamaan dari dasar yang paling kuat dan luas, sehingga mampu menanamkan pengaruh yang luar biasa dalam jiwa manusia. Tetapi rupanya beliau bermaksud memuliakan saya dan ingin memberikan peran kepada saya dalam usaha yang besar lagi mulia ini. Karena itu saya menyempatkan diri untuk menulis pengantar ini, dengan maksud untuk taqarrub kepada Allah swt. semata. Semoga Allah swt., menerima kitab ini serta memberikan limpahan manfaat kepada hamba-hamba-Nya.

Jiwa yang Merdeka ketika Tubuh Diperbudak


surga
Judul : Budak Pulau Surga
Penulis : Soegianto Sastrodiwiryo
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 486 halaman

Kemenangan Raja Karangasem Gusti Lanang Paguyangan saat berduel melawan Raja Pahang Canang di Bale Punduk Karangasem, justru mendatangkan malapetaka bagi rakyat Karangasem. Pasalnya Ritus Kalacakra, perayaan kemenangan, itu memakan puluhan nyawa sebagai tumbal. Inilah yang membuat rakyat Karangasem ketakutan bahkan menjual diri sebagai budak. Ini pula nasib yang menimpa I Gangsar dan Men Gansar (ibunya) bersama ratusan budak lainya. Bagaimana selanjutnya, berikut kisahnya?

Mereka menjual dirinya pada I Jablah, begal pengumpul budak, sebagai upaya penyelamatan diri. Lalu Mereka di larikan ke Pantai Pabean Buleleng dan di jual secara terpisah pada setiap penawar terbaik. Ada yang di larikan ke Batavia, Sunda bahkan ke negeri Belanda. I Gangsar bekerja pada Encik, konglomerat China. Menjadi budak, bukan itu yang mereka inginkan. Obrolan I Tombrog dan Ketut, betapa menyiratkan kebebasan yang mereka dambakan. Oleh penulis, penuturan kesengsaraan yang menimpa keluarga Men Gansar bersama budak lainya, menelan hampir separuh jumlah total halaman.

I Gangsar bukanlah budak yang menyerahkan seluruh hidupnya pada karmapala atau nasib. Baginya menjadi budak adalah menciptakan kesempatan untuk bisa berbuat selanjutnya tunggu saat yang tepat. ‘Karena menjadi budak itu berarti melompat, bagi yang mau dan menyadarainya sebagai sebuah lompatan. Banyak orang menjadi bendoro dan kaya. Memiliki banya kawulo dan tanah luas. Puri, griya, kekuasaan, kekuatan , panjak, penyeroan. Tapi mereka, sebenarnya, di perbudak oleh kekuasaanya sendiri,’ tukas I Gangsar. Halaman 73

Kisah selanjutnya di perankan oleh I Jenakih. Budak perempuan ini keturunan Jro Penyarikan dari Banguntirta. Keluarga Jro penyarikan sudah terbukti loyalitasnya. Budak perempuan

berpinggul besar dan bertubuh sintal ini sangat kokoh pendirianya. Meski seorang budak, I Jenakih berjiwa pemberani. Kedekatanya dengan Johan De Cruys, pengantar pos, semakin memudahkan jalan baginya untuk memuluskan misi yang di embanya. Dengan memanfaatkan potensi tubuhnya yang sintal, Johan De Cruys jatuh dalam pelukan I Jenakih. Praktis, setelah hubungan mereka tercium oleh nyoya-nyoya Belanda di kastil Batavia, mereka diasingkan pada wilayah yang berlainan. Johan di buang ke Ceylon selama 20 tahun untuk di pekerjakan sebagai budak dan I Jenakih di asingkan ke Mauritius.

Dalam masa pengasingan tersebut I Jenakih bertemu dengan Men Gansar, ibu kandung I Gangsar. I Jenakih sangat terharu melihat Men Gansar di barak gudang gula dengan kondisi yang memprihatinkan lagi gila. Selang beberapa bulan kabar kematian Johan sampai di telinga I Jenakih. Dan bab terakhir, di susul perjalanan I Gangsar dalam pembuangan ke Afrika yang menggunakan kapal Prince Damaira. Sebuah ending yang menyisakan tanya? Sebab, penulis tak menjelaskan apakah I Jenakih dan I Gangsar akhirnya bertemu atau tidak sama sekali?

Inilah novel dengan setting di Bali. Dalam masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda tersebut para raja di Bali justru saling berperang untuk memperebutkan pengikut bukan wilayah kekuasaan. Penulis, mengkisahkan dampak dari peperangan tersebut di mana budak menjadi aset untuk memperkaya diri. Peperangan para raja di Bali tersebut lebih merupakan sebuah setting untuk mendapatkan kehidupan mewah yang murah dengan cara memperbudak rakyatnya. Sebab status sosial, wibawa dan karismatik para raja waktu itu di lihat dari seberapa banyak budak atau pengikut yang dimilikinya bukan dari luasnya wilayah yang di kuasai. Sehingga menimbulkan pandangan bahwa perang menjadi kemutlakan untuk berkuasa.

Dalam Budak Pulau Surga karya Soegianto Sastrodiwiryo ini merupakan sebuah novel yang mempresentasikan sejarah perbudakan di Bali di awal abad 19. Nasib atau karmapala yang di yakini masyarakat Bali sebagai sebuah hukum sebab akibat, tak lepas dari ajaran kepercayaan yang di anut waktu itu. Orang-orang jahat cuma menerima akibat perbuatan mereka. Orang-orang berbuat baik, demikian pula.

Perlu di ingat, bahwa membaca novel ini membutuhkan konsentrasi penuh agar mendapatkan pemahaman yang sempurna. Pasalnya penggunan nama tokoh, wilayah dan istilah dalam novel ini sesuai dengan nama aslinya. Juga, penerapan alur maju mundur ternyata cukup membuat kita terkecoh bahwa jebakan telah di pasang oleh penulis. Seperti penuturan kisah pertemuan I Jenakih dengan Malewa, yang sebenarnya Daeng Sakerah.

Pesan penulis dalam novel ini ingin menyampaikan pada pembaca tentang cara bagaimana perjuangan dalam hidup seseorang untuk mencapai impian dan cita-cita. Sebuah perjalanan panjang penuh onak dan duri beratap imajinasi. Ya, dari imajinasi inilah akan lahir kekuatan dan menciptakan peradaban baru yang lebih bermutu. Nampaknya cerita yang di tonjolkan dalam novel ini juga terdapat pada novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yaitu, pemaknaan sukses yang harus di rasakan secara bersama bukan sukses per individu. Sangat menarik bukan!