Senin, 05 Desember 2011

GERAKAN PROTES RAKYAT MISKIN KOTA SURABAYA PADA AWAL ABAD KE-20



A. Pendahuluan
Tahun 1916 seorang Pengacara Pengadilan Tinggi di Surabaya, B.H. Drijber, yang mengaku sebagai perantara para pemilik dan administratur-administratur tanah partikelir di kota Surabaya mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg, agar seorang yang bernama Prawirodihardjo dan seorang yang bernama Pak Siti alias sadikin tempat tinggalnya dipindahkan dari kota Surabaya ke tempat lain berdasarkan pasal 47 R.R. Atau sebelum pemindahan itu dapat dilakukan mereka mohon, agar kedua orang itu untuk sementara ditahan. Prawirodihardjo adalah seorang pengawas pembangunan yang bertempat tinggal di kampung Ondomohen, tanah Ketabang, kota Surabaya. Pak Siti adalah seorang mandor kereta api yang tinggal di kampung Kedondong, tanah Keputran Lor, kota Surabaya. Permohonan itu diajukan karena kedua orang tersebut dianggap menjadi penghasut penduduk untuk tidak membayar sewa tanah, tidak menjalankan kerja wajib, melaklukana pendudukan tanah secara liar, dan tidak memberikan sebagian dari hasil panenannya kepada tuan-tuan tanah.[2]
Peristiwa tersebut menandai permulaan sejarah panjang dari gerakan protes di perkotaan khususnya di kota Surabaya pada abad ke-20. Sebagaimana tercantum dalam laporan-laporan tentang gerakan protes di Jawa yang berhasil dikumpulkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, gerakan protes di berbagai tempat di Indonesia (Hindia Belanda) pada awal abad ke-20  berlangsung secara sporadis di berbagai tempat.[3] Secara spasial laporan-laporan tersebut telah menempatkan desa sebagai basis dari gerakan protes yang hampir keseluruhan berideologikan gerakan messianistik atau yang populer dengan istilah Gerakan Ratu Adil. Gerakan tersebut subur berkembang di pedesaan karena secara ideologis masyarakat desa yang masih berpikir tradisional relatif lebih mudah dimobilisasi untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan bingkai ideologi messianistik. Maka tidak mengherankan studi lebih lanjut mengenai gerakan perlawanan atau gerakan protes kepada pemereintah jajahan pada awal abad ke-20 lebih banyak difokuskan pada studi gerakan protes di pedesaan.
Studi Sartono Kartodirdjo menjadi awal dari hampir semua studi mengenai gerakan protes di pedesaan, khususnya Jawa, yang telah menjadi klasik. Bukunya yang berjudul Protest Movements in Rural Java telah menjadi rujukan untuk studi-studi lanjutan tentang gerakan protes di pedesaan Jawa pada awal abad ke-20.[4] Perhatian Sartono Kartodirdjo terhadap masyarakat pedesaan demikian besarnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan karya akademik tertingginya yaitu disertasi yang dipertahankan di Universitas Amsterdam yang berjudul The Peasants’ Revolt of Banten in 1888.[5] Karyanya tersebut tidak pernah bergeser dari fokus utamanya, yeitu tentang gerakan masyarakat pedesaan dalam menghadapi tekanan dari penjajah. Sejak Sartono Kartodirdjo melakukan gerakan pemeloporan untuk melakukan studi tentang gerakan masyarakat pedesaan, jagat studi kesejarahan di Indonesia, utamanya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta kemudian mengalami euforia yang meluap-luap. Hampir semua sejarawan yang menjadi murid maupun rekan sejawat Sartono Kartodirdjo seolah-olah terhipnotis dan mengalami ekstase yang luar biasa untuk mengobok-obok masyarakat petani pedesaan dengan berbagai perspektif.
Hal ini wajar-wajar saja mengingat pedesaan lah kawasan yang paling menderita akibat tekanan-tekanan yang dilakukan oleh penjajah dengan berbagai bentuk eksploitasi. Namun demikian bukan berarti daerah perkotaan steril dari gerakan protes. Laporan-laporan pejabat kolonial telah mengindikasikan bahwa gerakan protes juga terjadi di banyak kota di Jawa, walaupun dengan karakteristik yang amat berbeda, dengan motifasi yang juga agak berlainan dengan gerakan protes di pedesaan. Kutipan dari permohonan seorang advocaat en procoreur bij den Raad van Justitie te Soerabaja, Meester Beerend Hermannus Drijber di atas telah menjadi bukti bahwa gerakan protes pada awal abad ke-20 juga menjangkiti daerah perkotaan. Sayangnya sampai saat ini masih amat minim, atau mungkin malah belum ada, studi yang memfokuskan pada gerakan protes di perkotaan (urban protest movements).
Tulisan ini akan mencoba menelaah gerakan bermukim secara liar di kota Surabaya, yang merupakan gerakan baru di perkotaan yang fenomenanya baru muncul pada abad ke-20 sejalan dengan mulai diterapkannya hukum positif dalam bidang pertanahan. Gerakan pendudukan secara liar (dalam kacamata pemerintah baik pemerintah jajahan maupun pemerintah Indonesia, sesudah Indonesia merdeka) tanah-tanah di perkotaan untuk digunakan sebagai permukiman (permukiman liar) sebenarnya masih bisa diperdebatkan menurut subjektifitas dan pandangan yang berb beda-beda. Hal ini amat mirip dengan fenomena perbanditan yang diteliti oleh Suhartono. Dalam kacamata pemerintah dan perkebunan perbanditan merupakan tindakan kriminal karena berdampak negatif bagi pemerintah dan perkebunan. Oleh karena itu, perbanditan harus dihilangkan agar jalannya pemerintahan dan perkebunan lancar dan mendapatkan keuntungan besar. Sebaliknya dari pandangan subjektif informal bandit dipandang sebagai tindakan heroik dan terpuji karena membela kepentingan rakyat.[6]
Fenomena pendudukan secara liar tanah-tanah di perkotaan juga bisa diperdebatkan berkaitan dengan berbagai problem yang berkembang di perkotaan. Dari kacamata pemerintah dan para penyewa tanah partikelir, gerakan pendudukan tanah secara liar di perkotaan merupakan pelanggaran hukum, karena untuk menguasai sebidang tanah harus ada syarat-syarat legalitas. Namun dari kacamatan para penghuni liar di perkotaan, gerakan mereka merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang memiliki otoritas atas kota yang tidak adil, dimana para penghuni kota dari golongan ekonomi lemah terpaksa tidak bisa mengakses fasilitas kota secara adil dan berimbang. Tanah-tanah sebagian besar sudah jatuh ke tangan para penyewa dan pemilik swasta, atau tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan otoritas kekuasaan untuk hal-hal yang mengatasnamakan kepentingan umum, walaupun realitasnya golongan miskin perkotaan amat sulit untuk ikut merngaksesnya.
Dari kacamata para pemukim liar, gerakan pendudukan tanah secara liar merupakan satu-satunya cara agar mereka bisa memperoleh haknya secara adil sebagai warga kota. Kota adalah milik siapapun yang mau tinggal dan bertahan di wilayah tersebut. Dalam konteks ini maka makalah ini akan melihat gerakan pendudukan tanah di kota Surabaya sebagai sebuah gerakan protes masyarakat miskin di perkotaan. Makalah ini akan menjawab beberapa permasalahan, pertama, apa penyebab terjadinya gerakan protes di kota Surabaya pada awal abad ke-20? Kedua, bagaimana gerakan protes terjadi? Ketiga, siapa pemimpin gerakan tersebut?
B. Tanah sebagai Sumber Keresahan Sosial
Sebagai bagian dari negara-negara yang dikategorikan sebagai negara ketiga, problem pertanahan dan permukiman mengemuka di kota-kota di Indonesia. Kota Surabaya menjadi kota yang menarik berkaitan dengan problem pertanahan dan permukiman ini. Surabaya merupakan salah satu kota tua di Indonesia dan kota terbesar pada abad ke-19. Tidak mengherankan apabila kota ini menjadi tujuan utama para pendatang Belanda sejak abad ke-19. Sejak abad itu pula pertumbuhan penduduk kota ini bergerak tajam. Pertumbuhan penduduk yang tinggi telah menjadikan masalah permukiman menjadi problem yang krusial dari waktu ke waktu, dan hal itu dimulai juga pada akhir abad ke-19 dimana gejala peng-kota-an mulai jelas di kota ini.
Persoalan penyadiaan tempat permukiman berkaitan erat dengan status tanah yang ada di kota Surabaya pada waktu itu. Hal ini terlihat jelas sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria (Agrarichewet) Tahun 1870 oleh pemerintah kolonial. Dalam undang-undang tersebut dikemukakan bahwa semua tanah yang tidak terbukti sebagai hak dan milik seseorang dinyatakan sebagai milik negara (domein-verklaring). Dengan adanya aturan itu maka berarti bahwa semua tanah, juga tanah-tanah tandus dan tanah desa menjadi milik pemerintah.[7] Namun pemerintah Hindia Belanda tidak bisa menguasai tanah-tanah partikelir yang mulai ada jauh sebelum diterapkannya Undang-Undang Agraria. Pada masa Daendels dan Raffles berkuasa untuk membangun kota Surabaya terpaksa mereka menjual sebagian tanah di kota ini kepada orang-orang kaya dari Eropa dan kepada orang-orang Cina. Hasil penjualan tanah ini digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas yang mendukung aktifitas mereka di kota ini antara lain benteng Lodewijk, asrama tentara, rumah sakit tentara di Simpang, dan lain sebagainya.[8] Dengan diterapkannya Undang-Undang Agraria maka secara garis besar tanah di kota Surabaya telah terbagi ke dalam beberapa kepemilikan yaitu pihak swasta Eropa, pemerintah, dan kepemilikan perorangan secara adat.
Dalam banyak kasus kepemilikan oleh pihak swasta Eropa sangat kuat dan sangat luas, sehingga sering kali kekuatan pemerintah dalam hal regulasi pertanahan pada waktu itu diabaikan. Hal inilah yang pada akhirnya ketika pemerintah kota memerlukan tanah untuk berbagai keperluan mereka kesulitan, karena pihak swasta juga bertindak sebagai spekulan tanah. Sebagai contoh misalnya salah satu masalah penting yang dicantumkan dalam Undang-Undang Agraria adalah apa yang dinamakan vervreemdings-verbod, yaitu larangan untuk membeli hak milik pribumi oleh orang asing.  Aturan ini dimaksudkan agar masyarakat pribumi tidak terusir dari tanahnya akibat ulah pihak swasta yang mengincar tanahnya sekaligus untuk mencegah kenaikan harga tanah oleh para spekulan tanah golongan Eropa dan Cina. Dengan demikian juga mencegah pembentukan kota yang tidak diinginkan.[9] Namun pada kenyataannya larangan tersebut tidak bisa berjalan dengan efektif.
Pada awal abad ke-20 beberapa perusahaan perorangan yang menguasai tanah-tanah di kota Surabaya sudah mencapai puluhan. Beberapa perusahaan tersebut beserta lokasi tanah yang dikuasai antara lain:
1.      Perseroan Eksploitasi Tanah Ketabang menguasai Tanah Ketabang Kidul
2.      Perseroan Pembangunan Keputran pemilik Tanah Keputran Lor
3.      Kongsi  Tjhin Tjhik Kong Soe pemilik Tanah Keputran Kidul
4.      Han Tjiong King, pengusaha pabrik gula dan Mayor Cina Surabaya, pemilik Tanah Ketabang Lor
5.      Han Siauw Gwan menguasai Tanah Manukan
6.      Perseroan Eksploitasi Tanah Tundjungan pemilik Tanah Tanjung Anom
7.      Tjoa Tjwan Bo pemilik Tanah Simau
8.      Tjoa Tjwan Khing, pengusaha pabrik gula, pemilik Tanah Jagir atau Ngagel
9.      Sech Ibrahim bin Ali Baswedan pemilik Tanah Bagong
10.  Perseroan Pembangunan Tanah Sawaan pemilik Tanah Sawaan (Sawahan: Pen)
11.  H. Kessler menguasai Tanah Dinoyo
12.  The Tik Gwan letnan Cina penyewa Tanah Grude (Grudo: Pen)
13.  Tjoa Tjwan Gie menguasai Tanah Patemon dan Tanah Embong Malang
14.  Tan Tjwan Sioe  menguasai Tanah Kembang Kuning
15.  Tan Siong Gak menguasai Tanah Kedonganyar (Kedunganyar: Pen)
16.  Tan Sing Lok menguasai Tanah Dagong Manyar
17.  Tan Sien Tjhioe, menguasai Tanah Gambuan Lor[10]
Daftar di atas hanyalah sebagian kecil dari perusahaan dan perorangan yang menguasai tanah-tanah di kota Surabaya. Tanah-tanah tersebut mulai jatuh ke tangan swasta sebagian terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 yang melegalkan penyewaan tanah-tanah kepada pihak swasta, tetapi sebagian lagi sudah terjadi sejak jaman VOC yang kemudian melahirkan istilah Tanah Partikelir (Particuliere Landerijen). Tanah partikulir terjadi karena VOC melakukan penjualan daerah-daerah tertentu kepada orang asing, baik Eropa maupun Orang Asing Timur (Vreemde Oosterlingen), terutama orang-orang Cina, untuk menutup kebutuhan keuangannya yang mendesak. Para tuan tanah, yaitu pemilik tanah partikelir, memiliki kekuasaan untuk memungut penghasilan dan pelayanan jasa dari penduduk yang tinggal di wilayahnya. Tanah partikulir ini banyak terdapat di Batavia, dan beberapa tempat lainnya di darah pantai Utara Jawa bagian Timur, termasuk di Surabaya.[11]
Dilaporkan bahwa pada tahun 1796, di daerah pantai Utara Jawa bagian Timur terdapat 1.134 desa yang disewakan VOC kepada orang asing (Cina). Di daerah yang sama pada tahun 1803, disebutkan bahwa dari 16.083 desa terdapat 1.446 desa (9 %) yang disewakan kepada orang-orang partikulir, terutama kepada orang Cina. Pada periode ini, penduduk belum memiliki hak individual atas tanah karena privatisasi tanah baru terjadi pada periode Raffles. Tinggal di atas dengan status tanah partikulir pada hakekatnya semakin membelenggu kemerdekaan penduduk. Kaki mereka seakan-akan diikat di atas tanah tersebut dengan ikatan berupa berbagai kewajiban yang harus dipenuhi kepada para penyewa. Penduduk adalah bagian dari tanah yang disewakan, sehingga apa pun kemauan dari penyewa para penduduk harus menurutinya.
Desa persewaan banyak yang digunakan untuk kepentingan usaha penanaman dan penggilingan tebu. Pada desa-desa ini penduduk dikenakan kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan dari pemotongan tebu di ladang, pengangkutan tebu ke penggilingan, dan pekerjaan di penggilingan. Mereka mendapat bayaran menurut banyak-sedikitnya air tebu yang dihasilkan. Di kota Surabaya, sebagian tanah partikulir digunakan untuk perkebunan tebu juga, terutama yang berada di pinggiran kota, tetapi tanah-tanah yang ada di tengah-tengah kota pada umumnya akan digunakan untuk permukiman (pembangunan rumah) yang dijual kembali/disewakan kepada para pendatang oleh para penyewa tanah. Bagi penduduk pribumi yang tinggal di tanah-tanah partikulir mereka dikenakan sewa tinggal, dan mereka juga dikenakan kewajiban untuk menyetor sebagian hasil panenannya apabila tanah yang mereka tinggali juga ditanami tanaman ekonomis. Hal inilah yang oleh penduduk di kota Surabaya dirasakan aneh. Mereka merasa sudah tinggal di tanah tersebut selama ratusan tahun sejak jaman nenek moyang mereka tanpa mereka harus membayar sewa dan kewajiban lain. Mereka merasa bahwa tanah yang mereka tempati adalah tanah milik mereka yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Pola pikir penduduk kota sudah berbeda dengan penduduk desa. Di kota sebagian penduduk sudah berpikir rasional, bahwa tanah adalah bagian dari hak privat, bukan milik komunal. Kalaupun ada tanah milik negara (domein-verklaring) mestinya adalah tanah-tanah kosong yang tidak ditinggali.
Mengenai persewaan desa dan tanah partikelir, banyak laporan tentang tindakan buruk yang dilakukan oleh para tuan tanah terhadap para petani dan penghuni tanah-tanah tersebut. Persewaan desa merupakan sumber penyalahgunaan dan tempat pemerasan dan penghisapan terhadap penduduk setempat. W.H. van Ijseldijk dan N. Engelhard berpendapat bahwa desa-desa yang disewakan untuk jangka pendek biasanya dihisap habis-habisan, tidak peduli apakah penduduknya rusak.[12] Pada periode ini pun sebenarnya keresahan telah melanda penduduk di tanah-tanah partikelir.
Setelah empat puluh tahun sistem tanam paksa berjalan, tahun 1870 terbit Undang-Undang Agraria yang menjamin hak perseorangan atas tanah. Salah satu perlindungan atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan adalah yang disebut vervreemdingsverbond yaitu larangan memindahkan hak atas tanah. Aturan tersebut tertuang dalam Staatsblad No. 179 tahun 1875.  Aturan itu berbunyi bahwa pemindahan hak (vervreemding) atas tanah orang Indonesia asli (pribumi) kepada orang-orang bukan non pribumi dinyatakan tidak sah alias ilegal.  Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak orang pribumi atas tanah yang mereka miliki.[13]
Namu pada kenyataannya, di tanah-tanah perkotaan seperti di kota Surabaya, status tanah partikelir masih belum dihapus, sehingga sebagian besar penduduk kota ini tinggal di tanah-tanah partikelir tanpa hak memiliki atas tanah yang mereka tinggali tersebut. Mereka masih terikat dengan kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi kepada tuan tanah. Namun demikian, Undang-Undang Agraria tahun 1870 menandai era baru, bahwa siapapun diberi hak untuk membeli tanah di mana pun sebatas yang bersangkutan mampu membeli tanah, tidak terkecuali penduduk pribumi. Celakanya, ketika kota-kota besar di Indonesia mulai beranjak naik menjadi kota yang ramai, seperti kota Surabaya, dan kota-kota menjadi tujuan dari kaum urban dari desa, pada saat itulah kemampuan penduduk pribumi untuk membeli lahan tempat tinggal di kota tidak ada. Dalam struktur masyarakat jajahan di mana masyarakat pribumi menjadi golongan miskin abadi, kemampuan mereka untuk membeli tanah di perkotaan hampir pasti sebuah kemustahilan. Tanah di kota sebagian besar sudah dimiliki oleh para tuan tanah. Tidak ada kesempatan bagi penduduk untuk mendapatkan tanah secara suma-cuma di perkotaan.
Bagi penduduk asli kota Surabaya mereka tinggal di tanah-tanah sempit yang hanya cukup untuk tempat tinggal saja. Menurut D.H. Burger, sistem dan budaya pewarisan yang berkembang di Indonesia telah menyebabkan kepemilikan tanah secara individual semakin hari semakin sempit, karena setiap keluarga di Jawa rata-rata memiliki anak lebih dari lima orang. Kesempatan untuk mendapatkan tanah bagi warga di kota Surabaya dan para pendatang di kota ini semakin kecil pada abad ke-20. Pada awal abad ini kota Surabaya berkembang menjadi kota industri terbesar di Indonesia yang setara dengan kota Bombay di India. Pabrik-pabrik besar berdiri di kota ini, salah satunya adalah industri mesin Braat (N.V. Machinefabriek Braat) yang berpusat di Kawasan Industri Ngagel, Surabaya.[14] Untuk mendukung proses industrialisasi di Indonesia, termasuk di koat Surabaya pada tahun 1918 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengizinkan pemilik tanah untuk menyewakan tanah minimal 21,5 tahun untuk tanah-tanah yang akan digunakan sebagai lokasi industri.[15]
C. Gerakan Pendudukan Tanah Secara Liar (Wild Occupation Movements)
Terbatasnya kesempatan untuk mengakses tanah bagi penduduk pribumi di kota Surabaya serta kemiskinan yang melanda sebagian besar penduduk telah menempatkan mereka pada posisi tidak puas terhadap sistem yang telah mendorong mereka pada poisisi yang mereka alami. Perasaan-perasaan semacam ini dalam teori gerakan sosial bisa mendorong terjadinya gerakan protes. Dalam teori psikologi salah satunya menyebutkan bahwa ketidakpuasan (discontent) merupakan salah satu akar dari gerakan sosial. Terdapat banyak ragam ketidakpuasan, mulai dari luapan kemarahan orang-orang yang merasa dikorbankan oleh ketidakadilan sampai dengan kadar kejengkelan terendah dari orang-orang yang tidak menyukai perubahan-perubahan sosial tertentu.
Mengutip pendapat Muller, Snyder dan Tilly, Horton dan Hunt mengemukakan bahwa sejauh ini memang belumada bukti yang meyakinkan menyangkut kadar kaitan antara kadar keluhan dan ketidakpuasan dengan tingkat keaktifan gerakan sosial. Orang bisa saja merasa sangat tidak puas tanpa ikut serta dalam suatu gerakan sosial. Banyak masyarakat mengalami kemiskinan, ketidakadilan, kekejaman, dan korupsi yang parah selama berabad-abad, tanpa melakukan protes sosial yang serius.[16]  Ketidakpuasan              hyggn merupakan kondisi yang diperlukan dalam proses suatu gerakan sosial, akan tetapi kondisi ketidakpuasan itu sendiri belum cukup untuk membangkitkan munculnya gerakan sosial.  Teori ini perlu disambung dengan teori lain yaitu teori ketidakmampuan penyesuaian diri pribadi atau Personal Maladjustment Theory. Orang yang merasa kecewa dan gagal biasanya tertarik dengan gerakan sosial.
Selain teori psikologi tentang gerakan sosial, terdapat pula beberapa teori sosiologi uanutk melihat gerakan sosial atau gerakan protes. Salah satunya adalah Teori Deprivasi Relatif (Relative Deprivation Theory). Teori ini dikembangkan oleh Stouffer. Menurut konsep ini seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Orang yang menginginkan sedikit, lalu ternyata hanya mampu memperoleh lebih sedikit akan merasakan kadar kekecewaan yang lebih rendah daripada orang yang telah memperoleh banyak, tetapi masih mengehndaki lebih dari itu. Deprivasi relatif semakin mengalami peningkatan pada kebanyakan negara terbelakang.
Ketidakjelasan status hak-hak tanah yang mereka tempati, kesulitan untuk mengakses tanah secara legal, serta kemiskinan yang akut telah mendorong gerakan protes masyarakat kota Surabaya. Awal tahun 1910-an gerakan sporadis untuk menduduki tanah-tanah partikelir secara liar terjadi di kota ini.
Terdapat beberapa tokoh yang menurut pejabat pemerintah kolonial di kota Surabaya berperan mengobarkan penduduk untuk melakukan gerakan pendudukan tanah secara liar di kota ini. Tokoh pertama adalah warga kampung Ondomohen, tanah Ketabang. Ia bernama Prawirodihardjo yang bekerja sebagai pengawas pembangunan di kota Surabaya. Dari jabatannya tersebut nampaknya Prawirodirdjo bekerja pada pemerintah kolonial atau biro pembangunan milik orang Eropa yang membuka usaha di kota Surabaya. Awal abad ke-20 pembangunan kota Surabaya mengalami gairah yang luar biasa, apalagi sejak kota ini diberi status sebagai gemeente, yang artinya kota ini memiliki pemerintahan kota sendiri yang otonom.[17] Pada waktu itu kampung Ondomohen merupakan perkampungan yang sudah berada di tengah kota, karena batas kota paling Selatan ada di Kayoon dan mulai bergeser ke arah lebih Selatan yaitu Wonokromo.
Tokoh kedua adalah Pak Siti. Ia adalah seorang mandor kereta api yang bertempat tinggal di kampung Kedondong, tanah Keputran Lor, Surabaya. Prawirodirdjo dan Pak Siti merupakan pimpinan gerakan yang menganjurkan kepada penduduk yang tinggal di kampung-kampung yang berada di tanah pertikelir untuk tidak membayar sewa tanah yang mereka tempati, menganjurkan penduduk untuk tidak melaksanakan berbagai bentuk kerja wajib. Tidak memberikan sebagian dari hasil panennya kepada tuan-tuan tanah (pemilik tanah partikelir). Kedua pimpinan gerakan tersebut memberikan keyakinan kepada panduduk yang tinggal di tanah-tanah partikelir bahwa tanah yang mereka tempati saat ini adalah tanah milik nenek moyang yang diwariskan kepada mereka. Artinya bahwa tanah-tanah tersebut adalah tanah hak milik mereka.
Dalam pandangan para pengikuti Prawirodirdjo dan Pak Siti, para tuan tanah yang menyewa tanah kepada pemerintah atas tanah-tanah yang ditinggali penduduk tidak ubahnya sebagai penjahat yang merebut hak milik mereka. Sebagai tindak lanjut dari gerakan mereka, penduduk-penduduk kampung juga melakukan berbagai aksi pendudukan tanah milik tuan tanah. Tanah-tanah tersebut diduduki, pohon-pohon ditebangi, kemudian mereka mendirikan bangunan di atasnya tidak peduli bahwa tanah tersebut masih dalam status disewakan kepada tuan tanah (partikelir) oleh pemerintah. Mereka juga menghalang-halangi pembangunan rumah-rumah oleh para tuan tanah dengan cara mengancam tukang-tukangnya. Padi-padi yang sudah siap panen, mereka paneni tanpa disetorkan kepada para taun tanah. Kepala-kepala kampung yang diangkat oleh para tuan tanah diancam dan tidak mengakui keberadaannya. Gerakan tersebut dilanjutkan dengan mengangkat kepala kampung sendiri. Wakil-wakil pemilik tanah mereka ancam dan dianiaya kalau berani menampakkan diri di kampung.[18]
Gerakan yang dipimpin oleh Prawirodirdjo dan Pak Siti tidak hanya terjadi di kampung Ondomohen dan Kampung Keputran, tetapi meluas ke berbagai kampung di kota Surabaya, terutama di kampung-kampung yang berbatasan dengan dua kampung tersebut. Kampung-kampung yang penduduknya ikut bergerak dalam gerakan protes yang dipimpin oleh Prawirodirdjo dan Pak Siti antara lain kampung Manukan, Tanjung Anom, Simo, Jagir, Ngagel, Bagong, Sawahan, Dinoyo, Grudo,  Patemon, Embong Malang, Kembang Kuning, Kedunganyar, Manyar, serta Gambuan Lor. Gerakan tersebut mendapat respon yang luas karena Prawirodirdjo dan Pak Siti sangat giat dan aktif mengadakan pertemuan-pertemuan dari satu kampung ke kampung lainnya.  Awalnya gerakan protes tersebut hanya terjadi secara sporadis tetapi mendekati tahun 1916 gerakan tersebut sudah menjadi perlawanan umum kepada tuan tanah.
Selain kemiskinan, masalah tanah menjadi penyebab utama dari gerakan protes ini. Awal abad ke-20 kota Surabaya berkembang sedemikian rupa menjadi kota besar. Penduduk Eropa di kota ini naik sangat signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk Eropa pada abad ke-19.  Pertambahan penduduk Eropa tentu saja menuntut penambahan tempat hunian bagi mereka. Tuntutan akan penambahan hunian bagi bangsa Eropa direspon oleh para tuan tanah dan biro-biro pembangunan dengan membangun perumahan-perumahan elite yang nantinya akan disewakan atau dijual kepada para pendatang Eropa yang membutuhkan tempat tinggal. Para pemiliki tanah partikelir terutama biro-biro pembangunan berlomba-lomba membuka lahan dan membangun perumahan.
Kawasan pertama yang dikembangkan untuk permukiman bangsa Eropa adalah di daerah Keputran Lor. Tanah yang dialokasikan untuk daerah perumahan tersebut kurang lebih seluas satu juta meter persegi. Kawasan ini berada di sebelah Selatan kampung Ondomohen tempat Prawirodirdjo tinggal, dan di kampung itu pula tempat tinggal Pak Siti. Sejak tahun 1888 daerah Keputran Lor yang akan dibangun tersebut merupakan tanah partikelir yang dikuasai oleh Bouwmaatschapij Keputran (Perseroan Pembangunan Keputran).[19]  Pengembangan kawasan tersebut untuk permukiman Eropa tentu saja mengancam keberadaan orang-orang seperti Pak Siti dan Prawirodirdjo yang telah bertahun-tahun menetap di tempat tersebut. Apabila pembangunan kawasan permukiman Eropa tersebut terus dilakukan maka Pak Siti, Prawirodirdjo beserta tetangga-tetangga mereka berlahan-lahan pasti akan terusir dari tanah tetrsebut, padahal mereka sudah beranak-pinak di tempat itu tanpa tahu-menahu bahwa pemerintah ternyata telah menjual atau menyewakan tanah di mana mereka tinggal kepada perusahaan-perusahaan swasta. Kondisi semacam itulah yang telah membangkitkan perlawanan masyarakat perkampungan di kota Surabaya.
Gerakan pembangkangan dan pendudukan secara liar tanah-tanah partikelir telah memunculkan ketakutan yang luar biasa pada tuan tanah yang menguasai tanah-tanah di kota Surabaya. Gerakan tersebut ternyata tidak bisa dihentikan oleh kekuatan polisi maupun hanya berupa larangan oleh pemerintah setempat. Dari hari ke hari pendudukan tanah-tanah secara liar terus terjadi. Rumah-rumah dengan bahan seadanya didirikan di tanah-tanah yang telah mereka duduki. Karena tindakan oleh pemerintah kota tidak mempan akhirnya para pemilik tanah-tanah partikelir, melalui seorang pengacara bernama B.H. Drijber, mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg, agar Prawirodihardjo dan Pak Siti alias Sadikin dipindahkan dari kota Surabaya ke tempat lain berdasarkan pasal 47 R.R. Atau sebelum pemindahan itu dapat dilakukan mereka mohon, agar kedua orang itu untuk sementara ditahan.
Tidak jelas benar bagaimana nasib Prawirodirdjo dan Pak Siti setelah mereka diusulkan untuk dipindahkan dari kota Surabaya atau untuk sementara ditahan. Namun demikian gerakan pendudukan tanah-tanah partikelir di kota ini terus berjalan, bahkan kemudian merembet ke tanah-tanah kosong yang statusnya adalah tanah negara. Pada tahun 1930-an gerakan pendudukan tanah secara liar bukan lagi semata-mata untuk menentang para tuan tanah yang telah merampas tanah nenek moyang rakyat Surabaya secara semena-mena, tetapi sudah dilandasai oleh kebutuhan perumahan yang semakin mendesak.
Pada periode ini kota Surabaya telah berkembang menjadi kota industri yang besar. Kota Surabaya telah menjadi kota terpenting yang menjadi tujuan dari orang-orang yang berimigrasi dari desa-desa di Jawa Timur. Dalam jangka waktu 25 tahun, sejak tahun 1906 sampai tahun 1930 jumlah penduduk kota Surabaya telah melonjak dua kali lipat. Tahun 1906 penduduk kota ini hanya berjumlah 150.188 orang, tetapi pada tahun 1930 telah menjadi 331.509 orang.[20] Golongan penduduk yang mengalami jumlah kenaikan cukup signifikan adalah golongan Eropa. Tahun 1906 orang Eropa yang tinggal di Surabaya hanya 8.663 orang, dan pada tahun 1930 menjadi 26.376, melonjak tiga kali lipat. Lonjakan jumlah penduduk pribumi sebagian besar karena terjadinya gelombang arus urbanisasi yang besar ke kota Surabaya. Krisis ekonomi yanag melanda dunia pada tahun 1929-1930-an telah mendorong orang-orang desa untuk mencari penghidupan di kota-kota besar, misalnya kota Surabaya. Padahal pada periode ini kehidupan ekonomi di kota Surabaya juga amat lesu. Pabrik-pabrik beroperasi amat minim karena daya beli masyarakat amat rendah. Aktifitas bongkar muat di pelabuhan juga turun drastis karena barang yang keluar masuk melalui pelabuhan juga minim. Padahal sebagaimana digambarkan oleh Ingleson, pelabuhan Perak di kota Surabaya merupakan salah satu pusat ekonomi yang paling dinamis. Buruh yang beraktifitas di pelabuhan ini sebelum krisis mencapai lebih dari sepuluh ribu orang.[21]
Karena sempitnya lahan yang bisa diakses secara bebas serta minimnya daya beli kaum pendatang di kota Surabaya yang rendah terhadap tanah, maka salah satu jalan untuk mengatasi problem tempat tinggal  mereka adalah dengan mendirikan gubuk-gubuk apa adanya dari bahan-bahan seadanya di tanah-tanah kosong yang dekat dengan tempat pekerjaan mereka. Sebagian lagi gubuk-gubuk didirikan oleh para gelandangan yang tidak memiliki pekerjaan.
Pemeriksaan terhadap kondisi kehidupan para pekerja di pelabuhan Surabaya tahun 1927, mengungkapkan kondisi-kondisi yang mengenaskan di tempat di mana mereka hidup.[22] Salah satu pemukiman kumuh yang dimiliki seorang mandor pelabuhan ditempati oleh 23 pekerja, padahal hanya memiliki lebar 3 meter, panjang 8 meter dan tinggi 7 meter. Dibangun dari bambu dengan lantai yang kotor. Tempat tinggal itu dikelilingi oleh rumah-rumah yang sama. Di sebuah rumah yang lain di sekitar tempat itu, yang juga dimiliki oleh seorang mandor pelabuhan, para pekerja pelabuhan membayar 3 sen semalam untuk tidur berhimpitan dengan 120 orang yang berjejalan di rumah tersebut.[23]
Kedua, tidak jarang juga para buruh yang memenuhi kota Surabaya tidak memiliki tempat tinggal sama sekali dan harus rela hanya berteduh di emper-emper toko. Ketiga,  membuat gubuk-gubuk dari bahan-bahan seadanya seperti tikar robek atau karung goni di tanah-tanah kosong. Hanya seperti itulah fasilitas akomodasi yang berhasil ia buat sekedar untuk beristirahat setelah seharian bekerja mengangkut barang-barang digudang.[24]
Keadaan semacam ini muncul karena keterbatasan akomodasi dan kemampuan para buruh tersebut untuk menyewa rumah yang layak. Di samping itu sampai awal abad ke-20 sebagian besar permukiman penduduk pribumi di kota Surabaya dalam kondisi mengenaskan. Kampung-kampung di kota Surabaya lazimnya merupakan permukiman apa adanya tanpa fasilitas memadai sebagai hunian di perkotaan. Kampung-kampung selalu dipenuhi para pekerja yang tidak mampu menemukan tempat tidur. Pasar-pasar bahkan juga dipenuhi oleh mereka, dan dengan alas seadanya mereka tidur di lantai. Hidup di kampung yang dekat dengan tempat kerja memberikan keuntungan kepada para pekerja untuk dapat menyimpan biaya pengeluaran untuk ongkos trem, yang menyerap sebagian besar pendapatan para pekerja perkotaan yang sudah sedikit itu.
Karena sempitnya lahan yang bisa diakses secara bebas serta minimnya daya beli kaum pendatang di kota Surabaya yang rendah terhadap tanah, maka salah satu jalan untuk mengatasi problem tempoat tinggal  mereka adalah dengan mendirikan gubuk-gubuk apa adanya dari bahan-bahan seadanya di tanah-tanah kosong yang dekat dengan tempat pekerjaan mereka. Sebagian lagi gubuk-gubuk didirikan oleh para gelandangan yang tidak memiliki pekerjaan.
Kampung-kampung semacam itu juga merugikan bagi para penghuninya, karena sangat rawan terkena penyakit. Sebagian besar kampung-kampung di bagian Utara kota Surabaya yang dekat pelabuhan merupakan perkampungan di tepi rawa. Pada musim kemarau udara di kampung menjadi panas, berebu, dan terlampau sesak. Menyebabkan penyakit malaria dan penyakit lain yang disebabkan karena sanitasi yang jelek dan saluran air minum yang kotor. Penampungan air untuk masak yang terbuat dari tanah liat yang dibakar (jun) juga merupakan tempat hidup yang nyaman bagi nyamuk malaria. Sementara itu apabila musim hujan datang maka tempat-tempat yang rendah dan saluran-saluran air yang tidak memadai akan menyebabkan kampung tergenang air dalam waktu yang cukup lama. Kondisi kampung yang semacam itu menjadi sarang penyakit, yaitu kolera, tipus, influenza, serta TBC. Kondisi semacam ini terus-menerus menjadi ancaman para penghuni kampung tanpa para penghuni tersebut sadar. [25]
Bagi para buruh pendatang dari pedesaan, walaupun tinggal di perkampungan miskin yang kumuh, padat dan senantiasa mengancam jiwa mereka karena dikerubuti berbagai macam penyakit, namun mereka merasa nyaman terutama bila dibandingkan apabila hidup di desa dengan penghasilan yang tidak jelas.
Tidak jarang juga para pendatang dari pedesaan tidak bisa mendapatkan pekerjaan di kota Surabaya sehingga mereka harus rela tidur di kolong-kolong jembatan. Gambaran tentang orang-orang miskin, pengemis, dan gelandangan pada awal abad ke-20 di kota Surabaya direkam oleh orang yang mengaku bernama Si Tjerdik dalam bukunya Melantjong ka Soerabaia.

”Kemiskinan antara kaoem Indonesier sering menjolok mata. Doeloe kolong-kolong djembatan dipakai boeat tempat tidoernja kaoem pengemis, tapi gemeente telah adaken atoeran keras dengan kasi kawat berdoeri  di saben kolong djembatan, toch tida oeroeng masih ada jang tjari tempat penginepan di sitoe ….. Itoe orang-orang Madoera poenja ”roemah” ada di straat. Ampir segala emper toko-toko di Benedenstad djadi tempat pemondokannja itoe orang-orang jang bekerdja berat boeat tjari sesoeap nasi.[26]
Munculnya perkampungan kumuh di perkotaan juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang-orang Barat. Sebagaimana dikatakan oleh P.J.M. Nas misalnya, meningkatnya jumlah orang Barat yang membutuhkan ruang hidup di kota adalah satu alasan yang menimbulkan apa yang disebut sebagai masalah perkampungan. Para pendatang baru yang semakin banyak mengambil lahan di pinggir-pinggir kampung, secara signifikan mengurangi ruang yang tersedia bagi tempat permukiman pribumi.[27]  Hal ini dipadu dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan tingginya kepadatan penduduk di daerah ini, yang kemudian seringkali mengubah perkampungan pedesaan di tepi kota menjadi perkampungan kumuh yang berada di tengah kota. Masuknya penduduk yang banyak telah menggeser posisi perkampungan yang semula berada di tepi kota lama-kelamaan bergandeng dengan wilayah kota dan akhirnya banyak kampung kemudian berada di tengah-tengah kota, di belakang permukiman orang-orang Barat.
Kondisi tersebut merupakan sedikit dari gambaran permukiman miskin di Kota Surabaya. Secara umum sejak kota ini ditetapkan sebagai gemeente pada tahun 1906 dan tanggung jawab atas kota tersebut dibebankan kepada pemerintah kota secara otonom, Kota Surabaya memiliki problem permukiman yang luar biasanya utamanya permukiman untuk warga miskin kota. Problem tersebut tidak saja menyangkut legalitas tanah-tanah yang digunakan tetapi juga berkaitan dengan ketidakmampuan warga miskin Kota Surabaya untuk ”menterjemahkan” makna permukiman yang baik sesuai standar elit kota pada waktu itu yaitu golongan Eropa. Karena ketidakmampuan tersebut maka penyelenggara kota harus melakukan kontrol yang kuat agar penyesuaian-penyesuaian bisa dilakukan dan stadardisasi permukiman bisa terlaksana sesuai dengan selera bangsa Eropa.
Gambaran paling ekspresif tentang kondisi perkampungan pribumi baik yang resmi maupun yang liar pada tahun 1930-an tertuang dalam hasil wawancara antara William H. Frederick dengan ratusan warga kota Surabaya yang dilakukan pada tahun 1970-an ketika yang bersangkutan akan menyusun disertasi.Rumah-rumah terkesan sangat seadanya, banyak yang menggunakan bahan-bahan bekas, tegak berimpitan di sepanjang gang. Dengan kekecualian kadang-kadang ada pohon buah-buahan, tidak ada lagi hal-hal yang menyejukkan pemandangan luar yang gersang. Sangat kontras dengan gambaran pemukiman warga Eropa. Susunan anyaman bambu dan tembok yang dilabur  sangat bertentangan dengan suasana kota yang beraspal, berbatu, dan berbeton di sekitarnya. Saluran air sangat buruk, apabila hujan tiba, pemukiman yang khas ini akan berubah menjadi kubangan lumpur yang lebar. Tidak jarang air memasuki rumah-rumah penduduk. Keluarga-keluarga penghuni kampung dengan penghasilan yang pas-pasan tidak punya pilihan lain selain melewati kesehariannya dengan lantai yang basah kuyup.[28]
Para penghuni kawasan liar di Surabaya sering kali merupakan penghuni permanen, tinggal sudah bertahun-tahun, tetapi banyak juga yang non-permanen. Penghuni permanen biasanya lama-kelamaan akan mengajukan ijin kepada pihak pemerintah untuk bisa menempati lahan yang telah mereka tinggali secara sah. Sedangkan penghuni yang tidak permanen biasanya akan pindah ke tempat lain apabila kepentingan mereka di tempat yang mereka tinggali sudah ada lagi. Sering para pendatang baru sampai ke Surabaya secara kebetulan dan berharap bisa mengadu nasib dengan memasuki jalur kerja yang baru. Kondisi demikian wajar terjadi, mengingat pada waktu itu Surabaya telah berkembang menjadi kota besar dan menjadi tujuan kaum urban untuk mengadu nasib. Sebagai pendatang baru mereka tidak memiliki kemampuan untuk menyewa rumah atau membuat rumah sendiri secara sah. Satu-satunya jalan adalah mendirikan rumah darurat dengan bahan seadanya di lahan-lahan kosong milik pemerintah kota atau milik swasta (partikelir). Dengan kata lain mereka memasuki dunia kampung. Mereka semua memasuki dunia kampung, dengan pergeseran dan gerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain sesering dan selambat sesuai dengan berubahnya pertimbangan keuangan dan pertimbangan-pertimbangan lain. Sehingga tidak jarang ditemui gubuk-gubuk liar yang sudah kosong tidak berpenghuni, yang menandakan bahwa pemilik rumah liar tersebut telah pergi.[29]
D. Catatan Akhir
Pendudukan tanah secara liar di kota Surabaya pada awalnya merupakan gerakan protes atas tekanan penjajah yang tidak mengakomodir keberadaan penduduk atas hak-hak tanah yang seharusnya mereka terima. Gerakan ini dipicu karena terbatasnya akses penduduk terhadap tanah yang sebagian besar sudah diklaim oleh penjajah melalui para pengusaha swasta. Padahal di tanah-tanah tersebut hidup ribuan penduduk yang sudah tinggal selama bertahun-tahun. Tekanan yang bertubi-tubi oleh para tuan tanah, penyewa tanah tersebut menjadi pemicu meletusnya gerakan penduduykan tanah-tanah secara liar. Namun pada perkembangannya gerakan tersebut lebih bermotif kebutuhan akan tempat tinggal bagi warga kota Surabaya terutama bagi kaum pendatang. Sempitnya kesempatan untuk mengakses tanah terutama untuk kebutuhan yang mendesak, yaitu untuk tempat tinggal menyebabkan gerakan pendudukan tanah terus berlanjut, bahkan sampai saat ini.
Gerakan pendudukan tanah secara liar menjadi gerakan yang sistematis karena gerakan ini memiliki pimpinan yaitu orang-orang yang cukup berpengaruh di lingkungan setempat.














DAFTAR PUSTAKA

Afschrift. Mailraport 1215/16
Arsip Nasional Republik Indonesia. Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX. Jakarta: ANRI, 1981
Bogaers,  Erica. ”Ir. Thomas Karsten en de Ontwikkeling van de Stedebouw in Nederlands-Indie, 1915-1940”, Skripsi Doktoral Planologi Universiteit van Amsterdam, 1982
Burger, D.H. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Djakarta: Pradnjaparamita, 1962
Faber,  G.H. Von. Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indie’s Voornamste Koopstad in de Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931. Soerabaia: Gemeente Soerabaia, 1933
Handinoto. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Yogyakarta: Andi, 1996
Horton, Paul B dan Chester L. Hunt. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga, 1990
Ikhsan Rosyid, “Industri Mesin Surabaya: Fungsi dan Peran dalam Industrialisasi dan Pembangunan Kota Abad XIX dan Awal Abad XX,” dalam Purnawan Basundoro dkk. Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007
Ingleson, John. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu, 2004
Nieuw Soerabajaasche Courant, 22 November 1927
P.J.M. Nas.  Kota-Kota Indonesia: Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007
Sartono Kartodirdjo. Protest Movements in Rural Java. Singapore: Oxford University Press, 1973
Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan Petani banten 1888 Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya: Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1994
Si Tjerdik. Melantjong ka Soerabaia. Semarang: Boekhandel “Kamadjoean”, 1930
Soetandyo Wignjosoebroto. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Malang: Bayumedia, 2005
Wertheim, W.F.  The Indonesian Town: Studies in Urban Sociology. The Hague: W. Van Hoeve, 1958
William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia, 1989

PILAR SIMBOLIK PENOPANG KEKUASAAN SUHARTO

Identitas Buku Judul                : Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam
Menyusun Sejarah Indonesia
Penulis              : Katharine E. McGregor
Penerjemah      : Djohana Oka
Penerbit            : Syarikat, Yogyakarta, 2008
Tebal                : xxvii + 459 halaman

            Di negara-negara penganut demokrasi modern penopang utama kekuasaan adalah rakyat. Rakyat melegitimasi kekuasaan melalui pemilihan umum. Indonesia kurang mengalami penglaman dalam hal ini. Hampir semua presiden di Indonesia memiliki legitimasi yang amat rendah dari rakyat, hanya presiden terakhir saja yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga cukup legitimat. Hal ini menandakan bahwa masa lalu Indonesia belum menjadi negara yang demokratis. Sukarno naik menjadi presiden karena posisinya yang amat menonjol selama periode pergerakan sampai pendudukan Jepang. Posisinya hampir tidak tergoyahkan, dan upaya untuk meruntuhkannya hanya bisa dilakukan dengan sebuah konspirasi yang cukup canggih antara elemen-lemen penentang di dalan negeri dengan elemen-elemen di luar negeri. Hasilnya adalah pertumpahan darah di hampir semua wilayah Indonesia yang mengantarkan Jenderal Suharto menjadi presiden. Apa elemen utama penopang kekuasaan Suharto selama 32 tahun berkuasa?
Secara ringkas pilar penopang kekuasaan Suharto selama berkuasa dapat dibagi menjadi dua, pertama pilar yang bersifat riil, ia berupa kekuatan nyata yang tidak sekedar melegitimasi kekuasaan tersebut tetapi membelanya jika ada ancaman. Kedua adalah pilar yang bersifat simbolik. Pilar ini tidak terlihat atau kasat mata tetapi memiliki efek yang luar biasa untuk mengendalikan rakyat dan menjadi semacam tangan gaib (invisible hand) penguasa untuk menggiring rakyat menuju pada satu kesetiaan tunggal. Pilar yang bersifat riil sebagai penopang kekuasaan Suharto yang paling utama adalah militer. Militer pendukung utama kekuasaan Suharto adalah Angkatan Darat, angkatan di mana Suharto pernah berkiprah sebelum ia menjadi presiden. Naiknya Suharto menjadi presiden juga didukung oleh angkatan ini yang memanfaatkan kekisruhan politik tahun 1965 dan tahun-tahun sebelumnya.
Pilar riil kedua penopang kekuasaan Suharto adalah Golongan Karya (Golkar) dan partai politik. Agar Indonesia dicitrakan sebagai negara yang demokratis maka perlu ada lembaga-lembaga yang berfungsi mirip partai politik. Namun keberadaan lembaga ini nyaris hanya sebagai simbol dan sebagai stempel demokrasi karena dalam kacamata Barat negara yang berdemokrasi adalah negara yang mengakomodir kekuatan partai politik. Bahkan keberadaan Golongan Karya pun sebenarnya tidak pernah berfungsi secara riil sebagai penopang kekuasaan Suharto. Tanpa Golongan Karya dan partai politik lainnya Suharto tetap bisa berkuasa sepanjang ia didukung oleh militer. Bahkan Golongan Karya dan partai-partai politik sangat tergantung pada Suharto, terutama dalam menentukan ketua-ketuanya.
Di samping berdiri di atas penopang riil, kekuasaan Suharto juga ditopang oleh pilar yang bersifat simbolik, yang tidak terlihat oleh mata, namun bisa dirasakan bahwa penopang tersebut berfungsi sangat efektif. Pertama, desas-desus, isyu, dan propaganda hitam, dan yang kedua adalah sejarah. Ketika Suharto berkuasa, intelijen berperan penting dalam menciptakan berbagai desas-desus, isyu, dan propaganda hitam yang bertujuan untuk meningkatkan daya tawar penguasa dan militer serta untuk menjatuhkan nyali rakyat. Reproduksi masa lalu juga menjadi elemen yang amat penting pada penegakan pemerintahan Suharto. Analisis kritis mengenai fungsi sejarah sebagai pilar yang menopang kekuasaan Suharto masih amat jarang dibahas melalui studi akademik yang komprehensif. Amat sering kita mendengar bahwa sejarah hanyalah cerita usang yang tidak memiliki nilai guna, tetapi bagi kekuasaan yang hegemonik dan totaliter sejarah amat berguna untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Khrouchtchev, seorang pemimpin dari negeri tirai besi Uni Soviet mengakui bahwa sejarawan adalah satu-satunya kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa. Melalui penelusuran atas sumber-sumber primer, sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau tanpa bisa dibantah oleh pemerintah yang berkuasa. Oleh karena itu di banyak negara -utamanya yang pemerintahannya berkuasa secara totaliter- pergulatan untuk mengendalikan sejarah amat intensif antara yang ingin mengendalikan sejarah untuk kepentingannya dengan sejarawan yang ingin mengungkapkan masa lalu dengan jujur apa adanya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia.
Katharine E. McGregor seorang sejarawan dari Melbourne, Australia dengan amat jeli berusaha membongkar sejarah yang dilacurkan pada masa Suharto berkuasa. Penelitian secara umum tentang kiprah militer di kancah politik di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, namun hasil penelitian  dari Katharine ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya. Dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik berbagai manipulasi sejarah tersebut yang ternyata adalah seorang sipil, yaitu Nugroho Notosusanto. Karena peran penting yang ia mainkan inilah maka Katharine menempatkan Nugroho Notosusanto pada posisi yang amat istimewa pada karyanya tersebut.
Keterlibatan Nugroho Notosusanto dalam proyek-proyek sejarah militer (ABRI) sebenarnya cukup mengherankan apabila kita lihat latar belakang dia yang sipil tulen. Memang dia pernah ikut bergabung dalam tentara pelajar tetapi ia tidak meneruskan untuk berkarir  di bidang kemiliteran. Menilik sikap-sikapnya yang lebih berjiwa militeristik daripada militer yang sesungguhnya sebenarnya patut dicurigai kondisi kejiwaan Nugroho Notosusanto. Nugroho digambarkan sebagai orang yang lebih disiplin daripada insan militer (hlm.272), ia juga sangat bangga mengendarai jip jika pergi ke kampus, dan dalam acara-acara resmi yang melibatkan dia sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI ia suka berseragam militer lengkap (hlm. 297). Sayangnya Katharine tidak menelisik sampai ke arah itu karena ia hanya berhenti pada penelusuran masa kecil, posisi sosial, sedikit mengenai keterlibatan dia dalam kancah pertempuran, sebagai mahasiswa, serta karir dia seperti menjadi dosen, Kepala Pusat Sejarah ABRI, rektor, dan menteri.
Pengabdian total Nugroho Notosusanto pada rezim Suharto dan militer memang cenderung membabi-buta, menghalalkan segala cara, serta dengan taktik yang cukup licik. Katharine mengungkapkan hal ini dalam kasus penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang dilakukan pada pertengahan tahun 1970-an. Sebelum buku tersebut diedarkan ke masyarakat ternyata Nugroho membuat skandal dengan menyerahkan naskah seri sejarah tersebut terlalu dini. Pada waktu itu banyak penulis yang belum menyelesaikan bab-bab yang menjadi bagian mereka, nah untuk menepati tenggat waktu yang digariskan, Nugroho yang berkedudukan sebagai penyunting dengan cerdik memerintahkan asistennya untuk mendapatkan salinan naskah volume enam (yang paling banyak menimbulkan kontroversi) dari para penulis dengan alasan untuk suatu keperluan yang lain. Tetapi ternyata Nugroho menerbitkannya dalam bentuk yang belum sempurna. Perbuatannya tersebut tentu saja mengundang kemarahan anggota penulis yang lain karena menerbitkan karya yang belum sempurna dan tanpa ijin kepada pengarangnya. Oleh rekan-rekan sesama sejarawan yang terlibat dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia tindakan Nugroho tersebut dianggap sebagai pengkhianatan profesi(hlm. 272-273).
Bagaimana Nugroho menjadikan sejarah (khususnya sejarah militer) sebagai elemen simbolik penopang kekuasaan Suharto? Militer Indonesia selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai militer yang unik karena lahir dari kancah perjuangan mengusir penjajah Belanda selama perang kemerdekaan. Militer Indonesia mengklaim dirinya lahir dari “gua garba” rakyat Indonesia jadi rakyatlah yang telah membentuk tentara, bukan pemerintah yang membentuk tentara. Selama perang kemerdekaan militer mengasumsikan diri sebagai lapisan kepemimpimpinan nasional setelah pemimpin sipil ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka pada tahun 1948 saat aksi militer kedua. Atas dasar klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya. Selain klaim tersebut mereferensi pada peristiwa perang kemerdekaan, militer juga mengklaim dirinya sebagai satu-satunya lembaga yang berhasil mengakhiri penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah Sukarno serta berhasil menyetop kesewenang-wenangan politik komunis di Indonesia dengan digagalkannya upaya penggantian ideologi Pancasila pada peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Selain dua peristiwa penting tersebut, terdapat peristiwa sejarah yang lain yang selalu dijadikan referensi militer untuk terus-menerus dijadikan pembenar agar bisa terus-menerus terlibat dalam sistem politik Indonesia. Peristiwa tersebut antara lain pemberontakan PKI Madiun 1948, pemberontakan PRRI/Permesta, pemberontakan DI/TII, dan lain-lain.
Klaim atas peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan militer tersebut tentu saja membutuhkan simbol yang berfungsi untuk terus-menerus mengingatkan memori kolektif rakyat Indonesia bahwa militerlah, yang pada saat-saat negara di ambang kehancuran, turun tangan mengatasi keadaan. Karena peristiwa-peristiwa tersebut sudah menjadi masa lampau, atau sudah menjadi sejarah maka simbol-simbol yang dibutuhkan adalah simbol yang berkategori dalam ranah sejarah (historical domain).
Studi yang dilakukan oleh Katharine menemukan tiga bentuk simbol yang diciptakan oleh Nugroho Notosusanto. Pertama adalah simbol dalam ujud fisik berupa museum-museum yang sebagian terdapat di Jakarta dan Yogyakarta, kedua simbol dalam ujud audiovisual yaitu film, dan ketiga dalah teks-teks buku sejarah yang disebarluaskan kepada masyarakat dan diajarkan di sekolah-sekolah mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Namun jangan membayangkan bahwa museum-museum yang didirikan oleh militer berisi barang-barang yang berkaitan dengan peristiwa yang diacu, karena sebagian besar museum, terutama yang ada di Jakarta, hanya berisi visualisasi peristiwa sejarah dalam bentuk diorama versi tentara (dengan penyesuaian dan manipulasi). Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, maka visualisasi sejarah merupakan cara paling efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI (hlm. 22).  Alasan tersebut sebenarnya kurang masuk akal mengingat semua museum yang digagas oleh militer berada di kota besar, sehingga pengunjung museum tersebut adalah orang-orang kota dan sekitarnya yang sudah melek huruf. Dibandingkan dengan teks-teks dalam bentuk huruf, visualisasi peristiwa masa lampau akan berfungsi lebih efektif untuk mempengaruhi alam bawah sadar orang-orang yang melihatnya karena fungsi-fungsi otak akan lebih cepat mengolah data visual dibandingkan dengan data tertulis.
Namun dibandingkan dengan diorama, tingkat efektifitas visualisasi peristiwa akan meningkat lebih tinggi jika visualisasi menggunakan teknik audiovisual berupa film. Dengan film kesadaran penonton akan dibawa kepada ”peristiwa yang sebenarnya” karena ia akan dihadapkan kepada peristiwa yang hidup, peristiwa yang bersuara, dan peristiwa yang bergerak maju. Efek-efek psikologis dari suara dan gerak akan terekam lebih mendalam dalam memori penonton bila dibandingkan dengan hanya melihat gambar dan patung yang diam. Teknik semacam ini juga dimanfaatkan oleh militer sehingga lahirlah film-film dengan tema sejarah yang menonjol-nonjolkan kepahlawanan tentara yang berlebihan terutama peran Suharto. Peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 misalnya diangkat ke tingkat pemitosan Suharto sebagai pahlawan nasional utama yang merebut kembali Yogyakarta dari Belanda dan menguasainya selama enam jam, yang cukup banyak dilebih-lebihkan. Peristiwa ini diaudiovisualkan paling tidak menjadi tiga film dengan judul berbeda-beda, yaitu Enam Jam di Yogya, Janur Kuning, dan Serangan Umum. Peristiwa kedua adalah pemberontakan G 30 S/PKI, yang merupakan legitimasi naiknya Suharto menjadi presiden. Peristiwa tersebut difelmkan menjadi dua film yaitu Jakarta 66: Sejarah Perintah 11 Maret dan Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang kesemuanya disutradarai oleh Arifin C. Noor. Film  Pengkhianatan Gerakan 30 September  menjadi film terpanjang karena berdurasi sekitar empat jam. Sayang sekali Katharine hanya sambil lalu saja menganalisis film-film sejarah dalam bukunya tersebut.
Teks-teks buku sejarah menjadi amat penting sebagai media propaganda rezim Suharto terutama buku-buku sejarah yang diedarkan dan menjadi pegangan wajib siswa-siswa sekolah. Ketika Nugroho Notosusanto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ia menciptakan satu mata pelajaran wajib baru yang disebut Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang sebenarnya merupakan murni sejarah tentara Indonesia. Penciptaan mata pelajaran baru tersebut diikuti dengan proyek penulisan dan penerbitan buku teks untuk pelajaran itu. Materi yang terkandung di semua bukunya lebih banyak mengunggul-unggulkan peran tentara dan mereduksi banyak peristiwa penting lainnya. Dalam buku teks sejarah yang oleh Nugroho dijadikan buku babon, yaitu buku Sejarah Nasional Indonesia utamanya yang jilid enam, perjuangan diplomasi, yang merupakan inisiatif dan dilakukan oleh masyarakat sipil Indonesia pada masa perjuangan, direduksi begitu saja dengan menyebut upaya tersebut sebagai kegagalan.
Inti dari semua proyek sejarah yang digagas oleh Nugroho Notosusanto sebenarnya bermuara pada satu titik, yaitu penciptaan simbol-simbol yang melegitimasikan bahwa pemilik sah republik ini adalah tentara. Masyarakat sipil hanya menumpang apabila diberi tempat. Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa telah dijadikan alat-alat simbolik untuk mengukuhkan legitimasi sebuah kekuasaan.
Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit, karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa.
Buku ini, yang naskah aslinya adalah disertasi yang dipertahankan di University of Melbourne Australia pada thun 2002,  menjadi amat penting untuk melengkapi berbagai studi yang telah dilakukan mengenai satu periode sejarah Indonesia yang amat represif, yaitu periode Suharto. Salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme. Studi Katharine ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa betapa bahayanya perselingkuhan yang dilakukan oleh sejarawan dengan penguasa yang otoriter dan lalim.