Sabtu, 07 Juli 2012

Beberapa kelompok revolusioner yang mendorong lahirnya proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.



"Kelompok Sukarni"
Sukarni bekerja di kantor Sendenbu (Barisan Propaganda), pernah juga menjadi anggota Pengurus Besar Indonesia Muda di Jaman Belanda. Kelompok ini didukung oleh: pemuda-pemuda Kusnaeni, Abdul Muluk, Adam Malik, Armunanto, Pandu Kartawiguna, M. Nitimihardjo, Syamsuddin, dan banyak yang lain. Mereka sering membuat brosur-brosur provokatif bermarkas di Menteng-31.

"Kelompok Syahrir"
Mula-mula disebut "Kelompok Hatta Syahrir", tapi karena Hatta sangat berkompromi dengan Jepang, maka terjadi perpecahan diantara mereka. Kelompok ini memiliki jaringan ke masyarakat luas lewat kelompok politik bawah tanah. Kelompok Syahrir didukung Sudarsono, Sugra, Hamdani, Kartamuhari.

"Kelompok para pelajar"
Terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu yang berhimpun di Asrama Ika Daigaku (sekolah kedokteran tinggi) di Prapatan-10, dan kelompok BAPERPI, berpusat di Cikini-71. Mereka memiliki organisasi yang bernama Persatuan Mahasiswa, dipimpin oleh Djohan Nur, Sayoko, Syarif Taib, Darwis dan Eri Sudewo.
Kelompok ini mengajukan tuntutan "Bebas dan Merdeka".
Para pemuka kelompok pelajar al.: Chairul Saleh, Djohar Nur, Darwis, Kusnandar, Subadio Sastrosatomo, Eri Sudewo, Bahar-razak, Cenan, Abu Bakar, Rasyid Siregar, Wahidin, EA Ratoelangi dan banyak lainnya.

"Kelompok Kaigun"
Kelompok Kaigun (Angkatan Laut Jepang) terdiri dari tenaga revolusioner yang bekerja di kalangan Angkatan Laut Jepang dengan tokoh-tokoh al. Mr. Subardjo, Sudiro, Wikana, E. Chairudin, Djojo pranoto, dll. Kelompok ini bangkit karena politik "Kemerdekaan Hadiah" dari Jepang, mereka sangat disiplin dan cukup berwawasan luas serta memiliki informasi tentang kekalahan pertempuran laut antara Jepang dan Sekutu di perairan Asia-Pasifik. Di Asrama Pemuda Angkatan Laut yang saat itu dipimpin oleh Wikana, pelajaran umum dan politik sering diberikan oleh Syahrir, Soekarno, Hatta, Iwa Kusumasumantri, Subardjo, Suwandhi dkk. Kelompok ini

Empat kelompok diatas sangat mempengaruhi situasi Jakarta. Mereka bergerak untuk mendorong & menyongsong kemerdekaan Indonesia.

Perundingan Cikini, 15 Agustus 1945
Pada malam hari 15 Agustus 1945 beberapa pemuda mewakili kelompok masing-masing hadir dalam rapat di Cikini-71. Rapat itu dibuka oleh Chairul Saleh. Masing-masing utusan menyampaikan keterangan-keterangan serta pikiran-pikirannya.
Setelah larut malam dicapai mufakat bersama, bahwa
(a): kemerdekaan harus dinyatakan sendiri oleh rakyat, jangan menunggu kemerdekaan sebagai hadiah;
(b): Bung Karno-Bung Hatta harus dibawa menyingkir keluar kota.

Sukarno-Hatta disingkirkan keluar kota

Pukul 4 pagi, dari Jl. Cikini-71, Chairul Saleh, Sukarni, J.Kunto dan Dr. Muwardi berangkat mula-mula ke rumah D. Asmoro di Jl. Pekalongan. Kemudian Dr. Muwardi diantar ke Pegangsaan Timur 56 untuk menjemput Soekarno. Sukarni dan J. Kunto ke rumah Bung Hatta.
Tercatat tanggal 16-Agustus-1945 pukul 04:30 pagi mereka semua berangkat keluar kota dengan bergegas-gegas. Chairul Saleh kembali ke Cikini-71 untuk mengorganisir pemuda lain.

Rengas Dengklok, daerah
pertahanan Republik yang pertama

Bung Karno, Fatmawati, Guntur (bayi), Hatta tiba dengan selamat ditangsi Rengas Dengklok dan tinggal sementara di rumah Djiauw Kie Siong. Rengas Dengklok adalah basis pertama daerah Republik.
Sejak tgl 14/8/1945, daerah ini mendapat penjagaan ketat dan tunduk pada peraturan pemuda republik.

Jakarta tgl 16/8/1945

Chairul Saleh - sebagai pemimpin Komite van Actie, mengambil inisiatif menggalang rakyat dan pemuda yang sudah tidak sabar, kemudian mengadakan perundingan untuk menyusun siasat dan aksi.

Dibantu Cudanco Abdul-Latif (Peta), Daidanco Kasman Singodimedjo (Peta), di ruangan bilyar di Kebon Binatang, tgl 16/8/1945, pukul 11:30 Chairul Saleh mengadakan perundingan dengan pemimpin Seinendan. Keputusan penting adalah: "Peta-Heiho memelopori perlawanan rakyat terhadap kekuasaan militer Jepang di kota Jakarta". Rakyat dan pemuda digerakkan.

Persetujuan Rengas Dengklok

Kira-kira pukul 04.00 sore, J.Kunto dan Mr. Soebardjo & Soediro berangkat menemui Bung Karno-Hatta di Rengas Dengklok dan menyampaikan berita bahwa "Jepang sudah menyerah kepada Sekutu". Sukarno-Hatta menyatakan siap sedia bersama seluruh rakyat menyatakan proklamasi kemerdekaan dan setuju menanda-tangani proklamasi kemerdekaan di Jakarta.
Persetujuan ini dinamakan Persetujuan Rengas Dengklok.

Pertemuan malam di Oranje Nassau Boulevard

Tengah malam 16/17 Agustus 1945, Rombongan Rengas Dengklok tiba di rumah Laksamana Maeda. Disana sudah dinantikan oleh BM Diah (harian Asia Raya); Semaun Bakri, Sayuti Melik Mr. Iwa Kusuma Sumantri.
Sukarni dan J. Kunto meninggalkan tempat untuk pergi ke Jl. Bogor Lama, dimana Chairul Saleh, Adam Malik, Wikana, Pandu Wiguna, M. Nitimihardjo, Kusnaeni dan Syahrir berkumpul. Setelah berunding, akhirnya Sukarni dan Chairul Saleh berangkat ke Oranje Nassau Boulevard.

Kira-kira pukul 01:30 malam, dimulai pembicaraan susunan kata-kata proklamasi.
Text proklamasi secara mufakat diselesaikan oleh Bung Karno dengan corat-coret perbaikan, kemudian di ketik oleh Sayuti Melik.

Penanda tanganan Naskah Proklamasi RI

Dengan di saksikan oleh Sukarni, Chairul Saleh, Mr. Soebardjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Sudiro, BM Diah, Sayuti Melik, Semaun Bakri, kira-kira pukul 02:00 pagi dinihari tanggal 17 Agustus 1945 - pernyataan proklamasi ditanda-tangani oleh Bung Karno - Bung Hatta atas nama rakyat.


Proklamasi RI di Pegangsaan Timur-56

Setelah Proklamasi ditanda-tangani di Oranye Nassau Boulevard, di Jl. Bogor Lama para pemuda segera mengadakan perundingan mengatur cara-cara penyebarannya. Kemudian perundingan dipindahkan ke Kepuh, dan pindah lagi ke Def-Van den Bosch 56. Tiga kelompok (pelajar, Sukarni & golongan Kaigun) melakukan pencetakan kilat pengumuman pernyataan proklamasi kemerdekaan yang disebarkan pagi buta tgl 17/8. Dengan spontan seluruh rakyat pagi-pagi bergerak dan menyambut gembira.

Tepat tgl 17/8/1945, pukul 10:00 pagi, Sukarno memberikan pembukaan singkat, lalu membacakan NASKAH PROKLAMASI REPUBLIK INDONESIA, disusul dengan upacara menaikkan bendera Merah-Putih (yang dijahit oleh Fatmawati).
Dengan Proklamasi Republik Indonesia oleh Sukarno-Hatta, berkobarlah Revolusi Indonesia - dalam perjuangan kemerdekaan.

Proses berikutnya adalah pembentukan Pemerintahan Republik, pengesahan undang-undang dasar dan penetapan sementara Presiden dan Wakil Presiden Sukarno-Hatta.

Sejarah baru Indonesia mulai tertulis setelah sekitar 350 thn bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda dan 3,5 thn dijajah oleh Jepang.


Dari berbagai sumber untuk mengenang para perintis dan pejuang Kemerdekaan RI..

Sejarah Pendudukan Jepang


(1942-1945)

Masa penjajahan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke AS dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.




Latar belakang
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.

Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.

Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f0/Hideki_Tojo.jpg/469px-Hideki_Tojo.jpgDescription: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/82/Admiral_Isoroku_Yamamoto.jpg/260px-Admiral_Isoroku_Yamamoto.jpgDescription: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/cc/Chuichi_Nagumo.jpg/200px-Chuichi_Nagumo.jpg

Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.

Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hndia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.

Menemukan Akar Gerakan Perempuan Indonesia




Oleh: Mukhotib MD

Berbagai diskusi sejarah gerakan perempuan Indonesia, biasanya—paling sering—menyandarkan diri pada tokoh Kartini, yang disebut-sebut sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Walaupun kepahlawanan yang dilabelkan kepada Kartini pantas untuk diragukan. Bukan saja ia tidak melakukan apa pun kecuali hanya imajinasi semata-mata, tetapi ia sendiri bersedia menjadi istri dari laki-laki yang sudah beristri. (Gadis Arivia: 1997). Menguatnya kajian gerakan perempuan bersandar pada Kartini, setidaknya karena ia meninggalkan written text, yaitu surat-surat yang ditulisnya dan lalu diterbitkan dalam sebuah buku yang amat terkenal, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. (Maria Hartiningsih: 2000). Berkaitan dengan buku di atas, tidak sedikit pula para ahli yang menyangsikan keasliannya sebagai karya asli Kartini (Saskia Eleonora Wieringa: 1999).

Kajian lain justru menunjukkan, tokoh seperti Dewi Sartika, sebenarnya jauh lebih jelas melakukan tindakan-tindakan aksi ketimbang Kartini yang tidak pernah melakukan apa-apa. Dewi Sartika mendirikan sekolah pertamanya pada tahun 1904 dengan nama Sekolah Istri dan selanjutnya diubah menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Hingga tahun 1912, Dewi Sartika telah mendirikan 9 sekolah, jumlah yang mencapai 50% dari keseluruhan sekolah di Pasundan (Marianne Katoppo: 2000).

Kecurigaan sebagian peneliti terhadap written text itu, setidaknya bersandar pada kemungkinan adanya keinginan Belanda untuk membuktikan keberhasilan politik etis, dengan dibukanya peluang-peluang bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, semangat pendidikan di Indonesia akibat politik etis—sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, tetapi lebih untuk menunjang terselenggaranya pemerintah Hindia Belanda. Mereka yang telah mendapatkan pendidikan dimaksudkan agar bisa dapat bekerja di kantor-kantor pemerintahan Belanda. Sudah pasti, kebanyakan hanya menduduki jabatan pegawai rendahan. (Sukanti Suryochondro: 1995).

Tetapi, menurut Sukanti Suryochondro, setidak-tidaknya—meski tidak secara langsung, kebijakan politik etis telah membangkitkan semangat di kalangan kaum perempuan untuk bergerak dan berjuang mendapatkan persamaan hak pendidikan bagi perempuan. Buah dari semangat ini, berdirilah Poetri Mardika (1912), salah satu organisasi perempuan yang kelahirannya memang mendapat dukungan dari Boedi Oetomo (organisasi laki-laki). Dalam perkembangannya, Poetri Mardika pernah mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal pada tahun 1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.

Setelah ini berdiri banyak perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri. Sebut saja misalnya, Pa*wiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Ma*na*do, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Su*ra*baya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryo*chondro: 1995). Dalam catatan sejarah, hampir setiap organisasi perempuan ini, menerbitkan majalah mereka sendiri sebagai media untuk membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka terkomunikasikan ke dalam masyarakat luas.

Secara umum sifat tujuan organisasi tersebut adalah sosial dan kultural, memperjuang*kan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang bisa dilacak kegiatan politik macam apa, kecuali catatan-catatan yang lebih menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial-budaya.

Gerakan nasionalisme juga berkobar di kalangan organisasi perempuan, dan pada tang*gal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres ini melahir*kan semacam federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun 1929, setahun setelah terbentuknya, diganti menjadi Peri*kat*an Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan perempuan dalam hukum perkimpoian (Islam), pendidikan dan perlindungan anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkimpoian, mencegah perkimpoian anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan harga diri perempuan, dan kejahatan kimpoi paksa. Perhatian ini meluas, misalnya, pada tahun 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan—salah satunya rapat umum untuk perempuan buruh batik di Lasem Jawa Tengah, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (Sukanti Suryochondro: 1995).

Perkembangan gerakan perempuan semakin maju, ketika dalam Kongres Perempuan II, Maret 1932, isu nasionalisme dan politik muncul, selain soal perdagangan peremuan, hak perempuan dan penelitian keadaan sanitasi di kampung serta tingginya angka kematian bayi. Ki Hajar Dewantara, dalam pidatonya mengatakan, sangat terkesan dengan perjuangan feminis di Turki, Cina, Persia, dan India, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi suksesnya perjuangan nasional di negara mereka. Dua tahun sebelum Kongres II ini, pada tahun 1930, Suwarni Pringgodigdo, mendirikan organisasi perempuan yang aktif dalam perjuangan politik, yaitu Istri Sedar di Bandung dan menerbitkan jurnal Sedar. Perjuangan lain, adalah upaya gerakan perempuan untuk menentang poligami yang dipandang merugikan perempuan.

Pada tahun yang sama dengan berdirinya Istri Sedar tahun 1930-an, para aktivis perempuan dalam Sarekat Rakyat mengorganisasikan demonstrasi politik untuk buruh perempuan dengan tuntutan kenaikan upah, kesejahteraan buruh dan keselamatan kerja. Salah satu aksi yang paling mencolok, sebenarnya justru demonstrasi yang dilakukan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926 di Semarang yang menuntut perbaikan kondisi kerja bagi buruh perempuan, dengan memakai caping kropak. Selama pembrontakan komunis pada tahun 1926 banyak perempuan ditahan bukan hanya karena mereka membantu suami mereka, tetapi juga karena aktivitas mereka sendiri. Bersama dengan laki-laki, banyak perempuan yang diasingkan ke Boven Digul, sebuah kamp konsentrasi Belanda di Irian Jaya. Sukaesih dari Jawa Barat, dan Munasiah dari Jawa Tengah termasuk di antara perempuan-perempuan tersebut. (Saskia E. Wieringa: 1988).

Pada Kongres Perempuan III, setelah melakukan pembubaran PPII, mulai dimunculkan isu tentang hak suara perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan S.K. Trimurti menjadi menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen (Budi Wahyuni,

Perjuangan dan gagasan gerakan perempuan yang sedemikian kuat dan berani pada akhirnya menjadi sepi. Kentalnya patriarkhi yang melingkupi para penulis sejarah Indonesia, menjadikan gerak perempuan dalam konteks pembentukan bangsa ke arah kemerdekaan—tentu saja mencakup gerakan politik yang telah mereka lakukan, tersisihkan atau bahkan terhapuskan sama sekali. Kecuali catatan-catatan peran mereka dalam wilayah domestik, seperti dapur umum untuk para gerilyawan. Di sinilah lantas muncul arus besar dalam pendidikan sejarah di Indonesia tentang peran laki-laki dalam perjuangan nasional dan nasionalisme kemudian menjadi sungguh-sungguh semata-mata wacana laki-laki (Catherine Hall, 1993). Padahal, sebagaimana ditegaskan, Catherine Hall, tak seharusnya ketertengge*lam*an perempuan dalam perjuangan nasional ini hilang. Sebab jika membaca berkembangnya mo*tivasi utama yang mendorong gerakan kemerdekaan Indonesia adalah kekecewaan terhadap kekuasaan kolonial yang paternalistik dan berwatak menindas laki-laki, tetapi perempuan jauh lebih berat mengalaminya, baik dalam kehidupan publik maupun pribadi. Penindasan dua tingkat ini yang mendorong perempuan berpartisipasi aktif dalam gerekan kemerdekaan. Selain, hampir menjadi fakta tak terbantahkan, semua gerakan nasionalis Indonesia diorganisasikan oleh pemuda dan perempuan untuk memerangi rasa kedaerahan yang mewarnai gerakan kemerdekaan. Dalam konteks inilah, mulai muncul kritik tajam terhadap ilmu pengetahuan sosial yang menyembunyikan pengalaman perempuan secara individu maupun kolektif, dalam seluruh kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kemunculan mereka dalam panggung sejarah gerakan nasional, misalnya, hanya dalam posisi penempelan atau menduduki posisi antagonis.

Memasuki babak baru gerakan perempuan Indonesia, ketika pada tahun 1946, setelah kemerdekaan diperoleh bangsa ini, organisasi perempuan mulai tumbuh, baik sebagai organisasi yang baru maupun kebangkitan kembali yang telah ada. Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping tetap memperjuangkan agenda-agenda—termasuk pasca pemberangusan di zaman Jepang, mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja. Persoalan yang dihadapi adalah tindakan diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik yang sama setidaknya secara legal telah dijamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.

Sejarah gerakan perempuan yang panjang ini, memang masih banyak menyisakan pertanyaan dan kebutuhan akan lacakan-lacakan yang lebih serius dan mendalam. Karena sangat dibutuhkan adanya landasan sejarah yang kuat dalam membangun gerakan perempuan saat ini. Diyakini benar, gerakan perempuan memiliki kekhasan karakter dan strategi gerakan dan bahkan mungkin ideologi dalam setiap tahapan sejarah di Indonesia. Soal lain, yang mungkin relevan untuk didiskusikan adalah sejak kapan sesungguhnya akar sejarah gerakan perempuan di Indonesia mesti ditautkan?

Mukhotib MD adalah Koordinator Jaringan Advokasi Konsumen Kesehatan Reproduksi PKBI DIY

Sumber : http://situs.kesrepro.info/gendervaw/sep/2004/gendervaw03.htm

Sejarah Hari Ibu (bukan mother's day)



Quote:
Hari Ibu
Hari Ibu adalah hari di mana kaum perempuan dimanja dan dibebaskan dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Berbeda dengan di Amerika, dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong yang merayakan Hari Ibu atau Mother’s Day pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ibu atau Mother’s Day diperingati setiap bulan Maret.


Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/f/fd/Dhien_2.jpgDescription: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/8/8d/Maria_Walanda_Maramis.jpg

Sejarah Hari Ibu di Indonesia
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia(Kowani).

Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.

Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung.

Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa.

Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/4/40/Logo_kowani.jpg

Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, surprise party bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari.
Quote:
Mother's day
Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara