Minggu, 20 Desember 2009

Judul: Pelumas Sejarah Indonesia

Penulis: Asvi Warman Adam

Tebal: xx + 270 hlm

Ukuran: 14 x 21 cm

Penerbit: Perpustakaan daerah


Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah dan belum pernah dimuat di media massa. Sebagian merupakan pengantar beberapa buku sejarah. Sedang sebagian lainnya terdiri dari tinjauan buku terutama yang terbit setelah era reformasi 1998. Substansi yang dibahas merefleksikan perkembangan sejarah Indonesia mutakhir, sebagian besar buku yang dibicarakan itu tergolong kategori terlarang pada masa sebelumnya. Terdiri dari dua bagian: bagian pertama termasuk normal track (jalur normal), maksudnya upaya pengembangan historiografi Indonesia secara normal dalam jangka menengah dan panjang. Sedangkan bagian kedua, mungkin tergolong fast track (jalur cepat), artinya apa-apa yang perlu diperbaiki dalam waktu dekat.

Banyak orang lebih senang memperdebatkan istilah pelurusan sejarah yang dianggap kurang tepat. Kenapa tidak dipakai ungkapan “penulisan sejarah kembali”, ujar mereka. Inti persoalannya bukan pada peristilahan tetapi pengakuan terhadap kenyataan. Faktanya telah terjadi pembengkokan sejarah selama Orde Baru yang dilakukan oleh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan. Ini seyogianya diakui dulu baru kita boleh berdiskusi tentang soal istilah. Di dalam berbagai tulisan penulis telah menjelaskan tentang rekayasa sejarah yang dilakukan rezim Orde Baru. Buktinya semakin banyak bila ditelaah ulang SNI (Sejarah Nasional Indonesia) jilid 6.

Buku SNI telah mendapat kritik tajam dari BM Diah di Harian Merdeka8 April 1976 dan tulisan yang sama dimuat bersambung pada HarianMerdeka 18-20 September 1985. Tulisan ini kemudian dibukukan dalam BM Diah, Meluruskan Sejarah, Kumpulan Karangan, Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987. Setelah membaca edisi pertama buku itu, Diah menulis “sejarawan Indonesia 1976 menghukum Sukarno”.

“Atas petunjuk Presiden Sukarno, PKI dan ormas-ormasnya dapat dengan aman melakukan intimidasi dan teror politik terhadap pihak-pihak dan tokoh-tokoh yang dianggap lawan, dengan mengatakan siapa saja menentang Nasakom, apalagi anti PKI adalah kontra revolusioner dan anti Bung Karno.”

Menurut Diah dalam hal ini Bung Karno telah dituduh dan dihukum, karena intimidasi dan teror PKI itu atas petunjuk Presiden Sukarno. Pada cetakan ketiga, bagian tersebut memang sudah tidak ditemukan lagi.

Pda SNI jilid 6 hlm. 17 tertulis “Di antara kaum nasionalis ada juga tokoh-tokoh yang menolak bekerjasama dengan pihak Jepang. Di antara yang terkenal adalah Sutan Sjahrir dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Sikap dari Tjipto selain alasan politik juga karena kesehatannya semakin mundur.” Di sini Amir Sjarifuddin tidak disebutkan. Semata-mata karena ia terlibat peristiwa Madiun 1948. Pada buku yang sama hlm. 161, perjuangan PDRI (Pemerintah Darurat republik Indonesia) hanya disebut datu kalimat. Sementara itu Sudirman begitu diagungkan. Tampak ganjil karena ia sakit keras tetapi masih memimpin gerilya secara total.

Lahirnya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dilatarbelakangi oleh hasrat Presiden Soeharto agar pelajaran sejarah tidak sekedar mengajarkan pengetahuan sejarah belaka, melainkan juga menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam hati siswa. Keinginan Soeharto itu muncul setelah ia mendapat masukan dari Jenderal M. Yusuf bahwa calon taruna AKABRI memiliki pengetahuan yang dangkal tentang sejarah perjuangan bangsa. Dari kasus ini kelihatan bahwa urusan internal ABRI ternyata dijadikan urusan nasional. Kepentingan militer mendikte kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Tidak ada komentar: